Solider.id, Yogyakarta –Pada tanggal 12-13 Mei 2022 kemarin SIGAB Indonesia meneruskan kegiatan sosialisasi terkait Program SOLIDER di Kelurahan Srikayangan dan Sukoreno, Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo. Kegiatan selama 2 hari tersebut berlangsung secara luring dengan menghadirkan sejumlah pihak terkait seperti masyarakat difabel, dukuh, perwakilan puskesmas, perwakilan sekolah, babinsa, bhabinkamtibmas, dan lainnya.
Lurah Srikayangan, Aris Puryanto memohon dukungan SIGAB untuk membimbing warganya, terutama warga yang difabel agar lebih berdaya. Atas hal ini, ia juga berterimakasih kepada SIGAB. Hal senada juga diungkapkan oleh Lurah Sukoreno yaitu Olah Suparlan yang menyatakan apresiasinya atas terjalinnya kerja sama ini.
“Kami sendiri telah menyediakan ramp (bidang miring) pada gedung pemerintah desa kami untuk memfasilitasi masyarakat kami yang memerlukan. Di luar itu tentunya masih banyak hal yang perlu kami tingkatkan lagi sehingga diharapkan dengan Kerjasama ini dapat mengisi kekurangan yang kami miliki,” tutur Suparlan penuh harap.
Haris Munandar, Wakil Direktur SIGAB turut menyampaikan terima kasih atas sambutan baik dari kedua kelurahan tersebut. Ia menekankan bahwa Program SOLIDER tidak akan berhasil tanpa adanya kolaborasi dari berbagai pihak.
Selain itu, Kuni Fatonah selaku koordinator program SOLIDER Wilayah DIY, turut menyampaikan rencana pelaksanaan program yang akan berlangsung selama 2 tahun. Terutama latar belakang dari program ini, yakni berangkat dari belum banyaknya partisipasi difabel pada tingkat desa, kurangnya akses terhadap berbagai hak yang melekat, dan dampak Covid-19 yang masih dirasakan hingga hari ini.
“Dari permasalahan tersebut, strategi yang akan diterapkan adalah melakukan pembentukan desa inklusif melalui kdd (kelompok difabel desa), advokasi kebijakan yang berpihak kepada difabel, akses bantuan hukum. Hasil yang kita harapkan tentu difabel dapat mengakses hak dasar mereka terkait dengan pendidikan, adminduk, bantuan hukum, aksesibilitas, dan lainnya,” jabarnya.
Acara sosialisasi tersebut juga disertai dengan sesi pelatihan tentang perspektif difabel yang diberikan oleh M. Joni Yulianto. Joni menerangkan bahwa sikap kita sangat dipengaruhi oleh pemikiran kita. Sebagai contoh pengetahuan kita tentang cabai adalah rata-rata memiliki rasa yang pedas. Apabila kita tidak suka pedas maka kita akan cenderung menjauhi makanan yang mengandung cabai. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran dapat berdampak pada sikap.
“Dalam kehidupan bermasyarakat, keberagaman merupakan sebuah fakta yang ada di sekitar kita. Hal itu dimulai dari tingkat terendah yaitu keluarga, RT/RW, dan seterusnya. Oleh karena secara fitrah kita dilahirkan berbeda-beda satu dengan lainnya, maka akan menjadi sebuah kebanggaan apabila perbedaan itu dapat diakui dan dihormati, atau bahkan akan lebih baik jika sampai difasilitasi,” tambahnya.
Kendati begitu, Joni mengungkapkan ternyata banyak dari kita masih terjebak dengan pemahaman bahwa segala sesuatu harus sama. Adanya identitas yang sama tersebut tampak membuat kita lebih dekat, tetapi bisa saja menjauhkan dari mereka yang berbeda.
Maka dari itu, Joni meminta untuk mengingat dasar negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi simbol perayaan terhadap perbedaan. Menurutnya, difabel sendiri tentu menjadi bagian dari keragaman. “Kita tidak bisa menolak menjadi difabel, sebab difabel merupakan peran yang diberikan tuhan kepada diri kita,” tegasnya.
Lebih lanjut, Joni menjelaskan bahwa difabel bisa saja disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari impairment atau keterbatasan fungsi baik fisik, sensorik, mental, maupun intelektual yang tidak bisa diubah. Kedua adalah hambatan yang dihadapi. Pada konteks ini, merupakan faktor eksternal yang bisa diubah atau dikoreksi dengan menyesuaikan kebutuhan difabel. Maka dari itu, penting untuk mengidentifikasi berbagai macam hambatan yang dialami difabel dan menjadi PR kita untuk memfasilitasinya.
“Sayangnya, memang banyak ditemukan di Indonesia, keluarga yang masih menutup-nutupi kondisi difabel yang dialami oleh anggota keluarganya. Tugas kita, melalui Program SOLIDER adalah menyakinkan keluarga bahwa tidak ada yang salah dari mengakui,” terangnya.
Setelah mau mengakui, Joni menyebut bahwa fase selanjutnya adalah mau menerima. Program SOLIDER nantinya akan memberikan pemahaman sampai tingkat keluarga dengan menghadirkan difabel sebagai konseling senasib supaya membuat keluarga yang bersangkutan bisa lebih menerima atau legowo.
Hal itu karena, menurut Joni, dalam membuat masyarakat inklusif, keluarga menjadi lingkaran pertama yang harus diubah. Ketika sudah dalam fase inilah, Program SOLIDER kembali akan bekerja untuk melibatkan difabel yang ada agar bersama-sama mewujudkan inklusi sosial. Barulah setelah itu mengawal adanya pembentukkan peraturan desa yang berpihak kepada difabel.
“Kita buat praktiknya dulu, peraturan baru kita sama-sama buat untuk menjaga praktik yang ada agar tetap berlanjut. Perlu diketahui bahwa SIGAB berperan sebagai fasilitator terhadap pemetaan potensi yang ada, bagaimana strategi meningkatkan pengetahuan/kapasitas, dan seterusnya,” pungkasnya.[]