Search

+62-274-284 0056

Search
Close this search box.

Aktivitas Sigab

Share halaman ini ke:

Sigab Indonesia Selenggarakan Nonton Bareng Debat Capres Terakhir Jelang Pemilu 2024.

Sigab.org – Bertempat di kantor Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, sejumlah pegiat difabel dan inklusi   nonton bareng debat calon Presiden ke lima jelang pemilihan umum serentak tahun 2024. Nonton bareng dilaksanakan pada minggu (4/2) dan di siarkan langsung di channel Youtube SoliderTV.

 

Tak hanya nonton bareng, sejumlah pegiat difabel yang berkumpul malam itu juga mendiskusikan beberapa point penting ihwal substansi debat yang relevan dengan isu difabel dan inklusivitas. Diskusi tersebut menghadirkan Soeharto, Ketua Dewan Pengurus Sigab Indonesia dan juga staf pengajar di UIN Sunan Kalijaga, Tri Noviana dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), dan Yuliani dari Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi)

 

Dalam debat calon presiden ke lima, tema yang diambil adalah beberapa tema yang relevan dengan upaya dan kerja-kerja yang dilakukan oleh pegiat difabel dan inklusi. Pada debat tersebut,  ketiga pasangan calon presiden  membahas berbagai tema terkait pendidikan, kebudayaan, ketenagakerjaan, kesehatan, informasi, toleransi dan inklusi. Joni Yulianto, selaku host pada live streaming debat mengatakan bahwa sebelum pelaksanaan pemilu pada tanggal 14 Februari, sebagai pegiat difabel harus kritis melihat topik-topik tersebut, “sejauh mana ketiga pasangan calon melihat topik tersebut dari sisi pemenuhan hak difabel di negara kita kedepan”.

 

Sebelum debat berlangsung, Soeharto, Ketua Dewan Pengurus Sigab Indonesia dan sekaligus Pengajar di UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dari perspektif difabel sebenarnya di debat sebelumnya para kandidat sudah menyampaikan soal difabel tapi masih umum dan masih normatif serta belum ketahuan apakah mereka sudah mendalami isunya dan apakah sudah punya ide dan gagasan yang progresif untuk mengatasi masalah atau tidak. “Kepedulian hanya sebatas kepedulian. Kali ini ada tema inklusinya maka diharapkan lebih memperdalam keberpihakan mereka atas isu-isu inklusif. Tapi kita juga tidak tahu akan seperti apa. Paling tidak kita juga menunggu komitmen dari kandidat yang terpilih agar bisa sering-sering berdialog dengan kita. Jangan sampai agar di didukung oleh difabel mereka berjalan sendiri dan tidak produktif. Jangan seperti UU Cipta kerja yang masih muncul kata-kata penyandang cacat padahal kita sudah punya UU 8/2016 tentang penyandang disabilitas.

 

Muhammad Syamsudin, salah satu peserta nonton bareng mengungkapkan bahwa  debat tadi  tidak ada yang secara real mengatakan isu difabel secara tepat dan inklusif secara tuntas. Lalu tidak menyinggung tentang kelompok rentan dan kelompok terpinggirkan secara tuntas. Lalu tidak menyinggung juga tentang keluarga difabel agar anaknya bisa kuliah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Kalau tadi bicara pendidikan itu keluarganya dijamin dengan program satu keluarga miskin satu sarjana yang diunggulkan oleh salah satu pasangan calon, jika keluarga difabel ini tidak dijamin pendidikannya maka akan memunculkan kemiskinan baru. Lalu soal kekerasan dan juga bagaimana korban terdampak sama sekali tidak disinggung. Jadi yang saat ini jalan adalah bagaimana mendorong daerah untuk menjamin difabel bisa mengakses pendidikan dan lain-lain. Rekam jejak Gubernur perlu dilihat ketika di Jakarta dan seperti apa di Jawa Tengah seperti apa. Soal inklusivitas tidak dibahas secara detail dan hanya retorika. Jadi perlu dilihat rekam jejak Gubernur di Jawa Tengah dan Gubernur di Jakarta.

 

Soeharto,  menanggapi isu inklusi dalam debat bahwa  setelah menyaksikan debat terakhir ini, ternyata paslon belum bisa mengarus utamakan isu difabel dan kelompok maraginal ke dalam tema-tema debat. Jadi PR ke depan adalah mainstreaming inklusif ini harus diperkuat. “jangan-jangan mainstreaming inklusi ini belum dimiliki oleh para penyelenggara pemilu dan para panelis. Jadi perlu menyebarkan prinsip-prinsip inklusi kepada semua pihak lainnya”.

 

Sementara itu, Tri Noviana dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) menyampaikan debat kali ini  tidak spesifik membahas inklusif tetapi justru menggabungkan antara kesejahteraan sosial dan inklusif. Tentu ini sangat berbeda karena kalau bicara Kesejahteraan Sosial banyak hal yang perlu dibahas tidak hanya bagi-bagi Bansos tetapi bagaimana kesejahteraan masyarakat dan pendidikan dan sebagainya. Sedangkan inklusi ini maknanya beragam di mana negara menciptakan otonomi daerah yang perspektifnya inklusi dan tidak terlihat pada oligarki. Mari kita melihat bagaimana investasi dan saat gejala teknologi informasi juga banyak bicara industrial dan investasi. Tapi tidak bicara bagaiimana undang-undang ITE yang masih banyak pasal-pasal karet di dalamnya. Bicara inklusif juga yang banyak dibicarakan hanya disabilitas padahal inklusi mempunyai makna yang lebih besar dari itu.

Video Terkait