Search

+62-274-284 0056

Search
Close this search box.

Aktivitas Sigab

Share halaman ini ke:

Pondok Pesantren Dalam Gerakan Sosial Menuju Indonesia Inklusi.

Catatan Reflektif Pemberangkatan Organisasi Mitra Program GOOD di Temu Inklusi #5 Situbondo, Jawa Timur

Kontributor Program GOOD: Agung Prabowo

Untuk pertama kalinya Faisal melakukan perjalanan tanpa pendamping. Ini sekaligus menjadi perjalanan terjauh yang pernah dia lakukan. Jika menarik garis lurus di atas peta, jarak Mamuju menuju Surabaya hampir seribu kilometer panjangnya. Jika menggunakan pesawat terbang, dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam dan 16 menit untuk melitas di sepanjang Selat Makassar dan Laut Jawa.

Bagi sebagian orang, mungkin perjalanan yang Faisal lakukan bukan sesuatu yang sulit. Tapi tidak untuk dia yang 22 tahun terakhir hidup bersama Polio sejak lahir. Virus tersebut menyebabkan kedua kakinya kerap mengalami keretakan bahkan patah saat terjatuh. Tidak perlu jatuh dari ketinggian untuk membuat kakinya cidera serius, bahkan benturan kecil pun dapat berakibat fatal. Alasan itu juga lah yang memaksa dirinya tidak melanjutkan sekolah dan memutuskan berhenti sejak di bangku Taman Kanak-Kanak.

“Orangtua saya khawatir kalau nanti saya kenapa-kenapa, dibully sama teman di sekolah. Jatuh biasa saja, kaki saya bisa patah. Sudah kayak ranting gitu, rapuh. Jadi sudahnya itu tidak pernah sekolah sampai sekarang”, cerita Faisal mengingat masa kecilnya.

Kasih sayang orangtua Faisal begitu besar. Namun, wujud kasih orangtuanya itu tidak jarang berdampak buruk pada dirinya. Satu hal yang dia sadari adalah, kekhawatiran berlebih orangtuanya yang berujung pada pilihan membatasi dirinya keluar rumah, bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Situasi ini kemudian membuat keterhambatannya menjadi semakin rumit. Sejak itu, dia merasa sulit mengembangkan diri dan mempelajari hal-hal baru di lingkungan luar.

Pembatasan ruang yang dilakukan orangtua Faisal ini berangsur mulai melunak sejak 2017, setelah perkenalannya dengan GEMA Difabel yang saat itu dimotori Safar, yang juga seorang difabel daksa. Bersama Ayahnya, dia kerap berkunjung ke sekretariat GEMA untuk sekedar bergaul yang akhirnya menarik perhatian dirinya masuk bergabung hingga saat ini.

Walaupun tidak memiliki ikatan darah dengan Safar, hubungan Faisal dan Safar seperti layaknya keluarga. Hal serupa pun berlaku pada anggota organisasi GEMA yang lain. Dari Safar pula lah Faisal untuk kali pertama mendengar cerita tantang Temu Inklusi.

Masih jelas di ingatan Faisal saat Safar menceritakan pengalamannya mengikuti Temu Inklusi di Yogyakarta. Dari pengalaman itu, dirinya semakin termotivasi untuk bisa mendapatkan pengalaman serupa. Dia ingin seperti Safar yang bisa bertemu teman-teman difabel dari berbagai wilayah di Indonesia, mendapat pengalaman baru, bisa bertukar informasi serta mendengar cerita-cerita pengalaman lain dari organisasi difabel yang hadir di event dua tahunan itu.

Na cerita Kak Safar, waktu di Jogja dia ikut Temu Inklusi. Dia tinggal di rumah warga, di desa. Bisa ketemu teman-teman difabel lain dari daerah lain. Acaranya bagus-bagus katanya jadi makin penasaran. Jadi penasaran juga mau ke Temu Inklusi”, cerita Faisal sembari mengingat-ingat cerita dari Safar.

Motivasi besar Faisal inilah kemudian yang mendorong dirinya untuk menyampaikan keinginan menghadiri Temu Inklusi #5 di Situbondo, Jawa Timur tahun ini kepada Safar. Bak gayung bersambut, niatnya itu disampaikan bersamaan dengan adanya rencana Program GOOD memberangkatkan organisasi difabel yang menjadi Mitra Program ke Temu Inklusi. Walaupun sebelumnya kesempatan itu sempat pupus karena keterbatasan kuota pemberangkatan, pada akhirnya dia mendapatkan kesempatan yang ditunggu-tunggu.

Beberapa pekan sebelum pemberangkatan, GEMA mendapatkan kuota kepesertaan di Temu Inklusi dari program berbeda yang dijalankan YAKKUM Yogyakarta. Kuota itu kemudian digunakan oleh Safar untuk memberangkatkan Pengurus lembaga ke Situbondo. Sedangkan kuota kepesertaan dari Program GOOD diberikan kepada Faisal.

Tanpa buang waktu, Faisal mengambil tawaran dari Safar untuk berangkat ke Situbondo. Begitu senang mendapat kabar baik tersebut, dia tidak sempat lagi memperhitungkan kebutuhan pendamping selama perjalanan.

Pengalaman Tidak Terduga di Temu Inklusi

Pada akhirnya, GEMA mendapatkan tiga kuota untuk kepesertaan Temu Inklusi dari dua program berbeda. Faisal sendiri menggunakan kuota kepesertaan dari Program GOOD bersama 14 peserta dari organisasi Mitra Program yang lain. Peserta dari perwakilan Mitra Program ini kemudian bergabung bersama 600-an peserta Temu Inklusi yang lain dari berbagai daerah. Peserta berasal dari 63 Kabupaten/Kota dan 19 Provinsi di Indonesia, berkumpul untuk mendorong gerakan menuju Indonesia Inklusif.

Sebelum memberangkatkan perwakilan organisasi Mitra Program GOOD, Tim Program mengirimkan lembar assessment untuk melakukan penilaian kebutuhan para peserta berdasarkan ragam difabilitasnya. Penilaian ini merupakan upaya program dalam memfasilitasi akomodasi layak kepada peserta agar dapat mengikuti seluruh rangkaian kegiatan dengan maksimal, sejak pemberangkatan hingga pemulangan peserta ke daerah masing-masing.

Program GOOD sebenarnya telah menyiapkan kuota kepesertaan untuk 16 organisasi Mitra. Namun sampai pada hari pemberangkatan, hanya ada 14 organisasi saja yang menyatakan bisa berpartisipasi di Temu Inklusi karena beberapa pertimbangan. Ke-14 organisasi difabel itu diantaranya adalah PERPENCA Jatim, IPDP Aceh, PINILIH Sedayu, PMMI Bengkulu, Difapedia Jateng, PPDI Cianjur, PELITA Indonesia, GEMA Difabel Sulbar, PPDI Kaltim, Albino Indonesia Family, PERMATA NTT, PAHDIS NTT, PERTUNI Maluku, dan PPUAD Maluku.

Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, Faisal kurang memperhitungkan kebutuhan pendamping untuk dirinya. Pasalnya, ada dua rekan GEMA Difabel lain yang akan berangkat bersama dirinya. Yang dia kurang perhitungkan adalah saat kedua rekannya itu harus lanjut menghadiri pertemuan di Yogyakarta setelah Temu Inklusi berakhir, sedangkan dia sendiri harus kembali ke Mamuju seorang diri. Inilah kemudian yang menjadi pengalaman menegangkan buat dirinya karena harus melakukan perjalanan udara seorang diri tanpa pendamping sekaligus menjadi pengalaman pertama melakukan perjalanan jauh di luar Pulau Sulawesi.

Saat tiba di Situbondo, Faisal juga tidak menduga bahwa Temu Inklusi kali ini dilaksanakan di kompleks Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo. Situasi ini tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Dari cerita Safar yang dia dapat, Temu Inklusi dilaksanakan di lingkungan pedesaan dimana peserta tinggal bersama di rumah-rumah warga desa.

Bagi Faisal, tinggal di tengah-tengah lingkungan pondok pesantren merupakan hal baru lain yang dia dapatkan. Tidak hanya dia, bahkan kedua rekannya pun merasakan hal serupa. Dia dan rekannya terkesan dengan sikap ramah dan terbuka para santri yang menjadi relawan Temu Inklusi. Para santri begitu sigab menawarkan bantuan kepada para peserta ketika mengalami kesulitan saat mengikuti rangkaian kegiatan. Tidak hanya santri yang bertugas sebagai relawan, tapi semua santri begitu aktif berinteraksi dan membantu peserta yang mengalami kesulitan.

“Waktu itu saya dan teman-teman lain yang pakai kursi roda tidak dapat mobil buat ke lokasi pameran. Jadi kami pergi sendiri pakai kursi roda. Saya kan di belakang, agak lambat. Di jalan ketemu santri, langsung ditawari bantuan. Jadi mereka dorong kursi roda saya sampai di lokasi. Padahal itu jauh jaraknya dari Auditorium ke pameran”, Faisal menceritakan.

Menularkan Gagasan Inklusi

Seremoni pembukaan Temu Inklusi berlangsung begitu meriah. Gubernur Jawa Timur dan Pimpinan Pondok Pesantren saat itu turut menghadiri dan membuka acara. Faisal begitu terkesan dengan kemeriahan yang disugukan oleh Panitia dan Tuan Rumah. Dia belum pernah merasakan suasana kemeriahan seperti itu sebelumnya, dimana peserta membaur jadi satu di ruangan auditorium bersama para santri. Mereka membentangkan dan mengibar-kibarkan bendera merah putih. Gedung berkapasitas 1.500-an orang hari itu gegap gempita menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ada 750 orang di antaranya merupakan aktivis difabel dari berbagai tempat di Indonesia. Semua membaur jadi satu, mereka yang difabel dan bukan difabel, bersama dalam semangat inklusifitas.

“Saya waktu itu sampai merinding, apalagi pas santri naik ke panggung buat Tari Zaman. Itu baru saya rasakan seperti itu. Sampai itu teman-teman ada yang naik ke kursi sambil terus kibarkan benderanya. Ramai sekali. Semua kegiatannya bagus, tapi pas di pembukaan itu yang paling berkesan”, cerita Faisal.

Dari semua kemeriahan Temu Inklusi di Situbondo, Wahyu, selaku Panitian Nasional Temu Inklusi yang juga mengkoordinir Porgram GOOD memiliki kesan berbeda. Baginya, nilai positif dari pelaksanaan Temu Inklusi yang berpindah-pindah tempat pelaksanaannya adalah gerakan untuk menularkan semangat inklusifitas seluas-luasnya, khususnya di lokasi pelaksanaan yang ditetapkan. Secara sadar, Tuan Rumah penyelenggara Temu Inklusi mulai berbenah diri untuk memberikan akses terbaik bagi peserta yang sebagian besar merupakan difabel dengan keberagamannya.

Kurang dari sebulan sebelum pelaksanaan, Wahyu menyampaikan hasil observasinya terhadap situasi pondok pesantren ketika mempersiapkan event Temu Inklusi. Ketika itu kondisi Auditorium belum seakses saat ini. Memang sudah ada ram yang menjadi bagian dari aksesibilitas bangunan, hanya saja belum terdapat handrail yang dapat melindungi orang-orang saat melintas di atas ram. Beberapa hari menjelang pelaksanaan, semua fasilitas untuk memastikan aksesibilitas gedung segera diupayakan oleh pihak pondok pesantren bersama Pemerintah Daerah. Bagi Wahyu, ini semacam embrio positif buat pondok pesantren untuk mulai mengupayakan aksesibilitas bagi kelompok difabel di lingkungan mereka. Bukan tidak mungkin Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo ke depannya bisa menjadi pondok inklusif. Lebih jauh lagi, pondok pesantren ini mampu menjadi contoh sekaligus mendorong pesantren-pesantren lain untuk menjadi pondok pesantran inklusif di wilayahnya.

Selain Desa, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus entitas sosial di masyarakat tentunya perlu diperhitungkan sebagai sasaran gerakan inklusi yang dibangun melalui Temu Inklusi. Ketika Desa beserta perangkat hukum perlindungan pemenuhan hak-hak difabel dewasa ini telah menjadi sasaran gerakan inklusifitas, maka penting pula mulai melirik entitas kecil lainnya di masyarakat, salah satunya lingkungan pondok pesantren. Apalagi mengingat di Indonesia, saat ini ada kurang lebih 39 ribu pondok pesantren yang dicatat Kementerian Agama pada periode 2022/2023. Angka tersebut tentunya belum termasuk pondok pesantren yang belum tercatat karena masih dalam proses formalisasi, pelengkapan dokumen maupun dalam tahap pembentukan. Sebagai sebuah peluang, entitas ini perlu diperhitungkan sebagai sasaran gerakan inklusi sebagai upaya pemenuhan hak-hak difabel di Indonesia.

*

Sore itu, Faisal tengah bersiap menuju Bandara Juanda Surabaya. Tim Program tidak henti-hentinya menaruh kekhawatiran pada situasi Faisal yang akan melakukan perjalanan tanpa pendamping. Namun seperti itu, baik Tim Program maupun Faisal berusaha saling meyakinkan masing-masing pihak bahwa semuanya akan berjalan dengan baik dan Faisal bisa sampai di Mamuju dengan selamat. Faisal sendiri memiliki ketakutan yang berusaha dia lawan karena memang ini pengalaman pertamanya. Bahkan Ibunya yang saat ini bekerja di Malaysia, terus mengontak dirinya di sepanjang perjalanan.

Setelah melewati jam-jam menegangkan, akhirnya Tim Program mendapatkan kabar bahwa Faisal telah tiba di Mamuju dengan selamat. Dan yang paling penting adalah, dia tidak sama sekali kapok setelah melakukan perjalanan itu. Bahkan keinginannya tumbuh semakin besar untuk menghadiri Temu Inklusi dua tahun mendatang.