Search

+62-274-284 0056

Search
Close this search box.

Aktivitas Sigab

Share halaman ini ke:

Dukungan CBM Di Kebijakan Safeguarding SIGAB Indonesia

Kontributor Program GOOD: Agung Prabowo

 

Sejalan dengan implementasi Program Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel—GOOD, CBM Global menilai perlunya memberikan dukungan terhadap mitra pelaksana program, dalam hal ini SIGAB Indonesia. Dukungan tersebut untuk memastikan SIGAB mendapatkan akses terhadap peningkatan dan pengembangan kapasitas, konsultasi, dan dukungan pembelajaran yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan, memantau dan melaporkan pelaksanaan dan pembelajaran dalam program. Agar dapat mencapai hasil tersebut, CBM Global mendorong serangkaian kegiatan penguatan kapasitas staf SIGAB bersama tim tematik CBM, salah satunya melalui Pelatihan Safeguarding.

Safeguarding atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai sebuah upaya memberikan perlindungan dan keselamatan terhadap privasi, keamanan dan martabat yang harus dilindungi, bermaksud untuk membangun sistem kerja perlindungan terhadap anak, orang dewasa rentan, dan perempuan dari pelecehan dan kekerasan seksual melalui kebijakan organisasi SIGAB. Kebijakan ini kemudian menjadi acuan bersama yang berlaku untuk seluruh staf maupun afiliasi yang bekerjasama dengan SIGAB Indonesia.

Pelatihan ini melibatkan 20 peserta yang merupakan lintas program/divisi, staf media, Manajemen dan staf kesekertariatan, khususnya mereka yang belum pernah mengikuti pelatihan serupa. Dari persentase peserta, hampir setengah dari seluruh jumlah peserta merupakan staf Program GOOD sebagaimana yang manjadi sasaran utama pelatihan karena sebagai pelaksana dari implementasi program CBM.

Jumlah peserta dari komposisi gender, hampir berimbang dengan persentase 53,3% peserta perempuan dan 46,7% peserta laki-laki. Hal ini memungkinkan untuk mengakomodasi suara dan perspektif perempuan di dalam keseluruhan proses pelatihan.

Pelatihan dilaksanakan selama 3 hari yang difasilitasi tematik ahli yang direkomendasikan CBM. Sebagaimana tertuang pada agenda pelatihan, yang juga ditegaskan kembali dalam kontrak belajar, pelatihan tanggal 6 hingga 8 Juni 2023 dilaksanakan dalam durasi 7 jam pembelajaran dan 1,5 jam jeda istirahat setiap harinya, dimana kegiatan dimulai pada pukul 8.30-17.00 WIB.

Di masing-masing hari, fasilitator membagi penyampaian presentasi materi ke dalam 5 sesi dengan 3 kali jeda, dua kali jeda minum kopi dan satu kali jeda makan siang sekaligus beristirahat. Dengan komposisi waktu pelatihan ini, seluruh peserta merasa porsi waktu pembelajaran dan waktu istirahat yang diberikan sudah berimbang. Dalam penyampaian materi, fasilitator juga menggunakan ragam teknik fasilitasi di antaranya presentasi, simulasi, diskusi kelompok, contoh-contoh kasus, video animasi dan ice breaking.

Selain perangkat utama, pelatihan juga memfasilitasi peserta dengan perangkat pendukung seperti Juru Bahasa Isyarat—JBI, notulis, alat/bahan pembelajaran dan dokumentasi audio-visual kegiatan. Terdapat dua JBI yang akan bertugas secara bergantian untuk memberikan aksesibilitas kepada difabel tuli. Untuk merekam keseluruhan proses, Tim Program menggunakan jasa notulis untuk mencatat seluruh rangkaian proses ke dalam bentuk teks. Peran staf media program juga turut dimaksimalkan dengan mengumpulkan foto-foto kegiatan yang diolah untuk kebutuhan publikasi kegiatan. Dari keseluruhan layanan dan fasilitasi yang tersedia saat pelatihan, 80,6% peserta merasa puas dengan apa yang mereka dapatkan.

Namun seperti itu, masih terdapat beberapa catatan selama pelaksanaan pelatihan yang berlangsung. Misalnya, masih ada beberapa peserta yang merasa tempat pelaksanaan pelatihan yang kurang aksesibel di jenis difabel tertentu, keterbatasan penyediaan bahan-bahan pembelajaran dan durasi pelatihan yang cukup panjang. Walaupun begitu, persentasenya di ketiga komponen pelatihan tersebut tidak begitu signifikan karena persentas peserta non difabel jumlahnya lebih banyak dibanding peserta difabel.

Safeguarding Sebagai Langkah Preventif

Mengawali Pelatihan Safeguarding hari pertama, Tri Wahyu (Koordinator Program GOOD) dan Haris Munandar (Manajemen SIGAB) menyampaikan sambutannya sekaligus membuka acara. Menyusul Suratman dari Tim Tematik CBM, sekaligus fasilitator tunggal di kegiatan ini menyampaikan gambaran umum Pelatihan Safeguarding tiga hari ke depan.

Setelah memfasilitasi perkenalan peserta, membuat kesepakatan belajar, serta menjelaskan rencana pembelajaran yang memuat alur, agenda dan tujuan pelatihan, Suratman mengajak peserta untuk melakukan braindstorming dengan melemparkan pertanyaan pemantik, ‘apa yang peserta pikirkan ketika mendengar istilah safeguarding?. Setelah mendapat respon balik peserta, fasilitator coba memberi pemahaman ke peserta tentang apa itu safeguarding dan kaitannya dengan kebijakan perlindungan.

Lebih lanjut, Suratman menyampaikan materinya terkait tujuan, fokus area dan ruang lingkup safeguarding CBM Global. Akar hadirnya Kebijakan Safeguarding tidak lepas dari keyakinan semua pihak bahwa tidak seorang pun yang tidak berpotensi untuk menjadi pelaku sehingga organisasi perlu menunjukkan komitmen dan tanggung jawab untuk memastikan anak, orang dewasa berisiko dan perempuan senantiasa berada dalam kondisi aman dan terlindungi. Kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga reputasi organisasi dan pihak-pihak yang terkait, dengan demikian kebijakan difokuskan pada tindakan preventif, 75% pada langkah pencegahan dan pengurangan/mitigasi risiko, sedangkan 25% pada langkah penanganan.

Ruang lingkup Safeguarding CBM Global sendiri mengacu pada 3 pilar utama yakni:

  1. Perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan penelantaran;
  2. Perlindungan orang dewasa berisiko dari kekerasan, eksploitasi dan penelantaran; dan
  3. Perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan pelecehan seksual.

Setelah coffee break, Suratman mengajak peserta untuk menyimak sejumlah contoh-contoh kasus yang menjadi bahan diskusi bersama. Peserta kemudian diminta untuk menentukan apakah contoh-contoh yang ditampilkan masuk dalam lingkup Safeguarding atau tidak, serta mengemukakan alasan masing-masing:

  • Seorang anak gadis usia 15 tahun dinikahkan oleh orangtuanya dengan laki-laki kaya berusia 32 tahun.
  • Seorang anak 6 tahun ditinggal sendirian di rumah tanpa pengawasan.
  • Seorang laki-laki dewasa menunjukkan gambar perempuan telanjang kepada anak-anak usia 8 tahun.
  • Orang tua menempatkan anaknya di panti asuhan untuk mengurangi beban keluarga. Ini kejadian di Jogja, dia punya 5 anak dan semua dimasukkan ke panti asuhan di 2 tempat.
  • Seorang pengusaha peternak ayam mempekerjakan seorang anak berusia 16 tahun selama 4 jam sehari dan anak tersebut mendapat upah atas pekerjaannya tersebut. 
  • Seorang petani meminta anaknya yang berusia 15 tahun untuk membantu mencangkul di sawah.
  • Seorang anak usia 14 tahun mencela teman sebayanya dengan kata-kata yang merendahkan dan melecehkan.
  • Suatu keluarga mempekerjakan membantu rumah tangga anak. Dia kerjanya hanya 4 jam.

Di akhir sesi diskusi, Suratman menggaris-bawahi bahwa pekerja anak sebagai pembantu rumah tangga saat ini telah menjadi isu paling disoroti lembaga-lembaga internasional.

Sesi selanjutnya, Suratman mengajak peserta mendiskusikan tiga konsep yang sama-sama melibatkan tindakan kekerasan tetapi memiliki makna berbeda ketika melihat konteksnya. Abuse ketika kekerasan itu dilakukan oleh seorang atau lebih yang tidak melibatkan institusi. Perbedaannya dengan torture yakni ketika kekerasan itu dilakukan oleh seseorang yang melibatkan atribut institusi tertentu, misalnya seorang polisi berseragam melakukan kekerasan terhadap pelanggar hukum. Sedangkan violence, kekerasan yang dilakukan melibatkan institusi secara struktural. Dengan demikian, abuse, torture dan kekerasan negara/institusi termasuk dalam kategori violence. Namun seperti itu, ketiga istilah tersebut tidak dapat dipertukarkan penggunaannya karena memiliki konteks yang berbeda.

Peserta juga secara aktif menganggapi dan mengajukan contoh-contoh kasus lain sebagai pembanding dalam sesi ini. Suratman juga menyinggung prihal relasi kuasa orang dewasa dengan anak yang berkaitan dengan kekerasan dalam kadar yang ringan. Misalnya tindakan menghukum anak karena melakukan kesalahan, yang itu tidak berlaku sebaliknya pada orang dewasa yang mengindikasikan keegoisan orang dewasa. Sama halnya pelecehan seksual permisif di masyarakat kerap mendapat pemakluman yang menurutnya dapat menjadi ‘lampu hijau’ bagi situasi kekerasan seksual yang lebih berat.

Di pembahasan tentang eksploitasi, digambarkan sebagai situasi ketika seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan situasi kerentanan anak untuk mendapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk eksploitasi ekonomi (mendapatkan keuntungan secara ekonomi) dan eksploitasi seksual (mendapat keuntungan secara seksual). Mengacu Konvensi ILO 138 dan 182 yang telah diratifikasi Indonesia dan diadopsi ke dalam UU Ketenagakerjaan, mengatur tentang Anak Boleh Bekerja dan bentuk pekerjaan terburuk yang dilarang untuk anak. Pertama, usia anak boleh bekerja yakni 15 tahun ke atas; Kedua, maksimal jam kerja dalam sehari yakni 4 jam; Ketiga, tidak mengganggu waktu sekolah/belajarnya; Keempat, memanfaatkan waktu luang anak, misal waktu bermain, untuk bekerja; dan Kelima, pekerjaan itu tidak masuk kategori bentuk pekerjaan terburuk, seperti bekerja di ketinggian dan di kedalaman.

Hukum positif di Indonesia hanya mengenal kategori dewasa dan anak-anak hanya dari pengelompokkan berdasarkan usia. Pada konteks difabel, khususnya difabel mental, pengelompokan berdasarkan usia ini tidak menggambarkan kondisi difabel sebenarnya karena di beberapa kasus batasan usia biologis dengan usia psikologis pada difebel mental tidak lantas sejalan. Dengan demikian, hukum positif belum dapat mengakomodasi situasi difabel mental ketika berhadapan secara hukum.

Penelantaran: Secara umum penelantaran anak memiliki dua bentuk. Pertama, tindakan penelantaran yang dilakukan dengan kesengajaan, misalnya membuang anak, tidak mengobati anak ketika sakit, tidak menyekolahkan anak di usia sekolah dan sebagainya. Kedua, tindakan penelantaran yang tidak disengaja yang masuk sebagai bentuk kelalaian, misalnya meninggalkan anak tanpa pengawasan orang dewasa, juga masuk dalam kategori penelantaran. Menempatkan anak di panti asuhan juga menjadi salah satu bentuk penelantaran karena orangtua melepas tanggung jawab pengasuhan.

Bagi Suratman, panti asuhan lebih tepat disebut sebagai panti pendidikan. Tahun 2005-2006, Save The Children melaporkan hasil penelitian mereka dimana ditemukan 5% anak yang tinggal di panti statusnya sebagai yatim-piatu, 25% sebagai yatim atau piatu saja dan 70% tanpa status yatim-piatu atau masih memiliki ayah dan ibu. Sebagian besar tujuan memasukkan anak-anak ke panti yakni agar anak dapat mengakses sekolah, bukan untuk diasuh, sehingga panti dalam konsep pengasuhan ditempatkan sebagai pilihan akhir.

Setelah jeda istirahat dan makan siang, fasilitator kembali menegaskan soal lingkup Kebijakan Safeguading yang akan dirumuskan ke dalam kebijakan di organisasi SIGAB Indonesia. Berangkat dari pemahaman bahwa semua orang di muka bumi berkewajiban untuk melindungi anak-anak dari kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran. Ketika gagasan ini ditarik masuk ke dalam organisasi SIGAB, maka ini akan menjadi Child Protection Policy (CPP) SIGAB dimana semua orang yang terkait langsung secara keorganisasian, seperti manajemen, staf, relawan, vendor dan pihak-pihak lainnya, harus diatur di dalam Kebijakan Safeguarding. Lingkup Kebijakan Safeguarding SIGAB hanya berlaku pada semua orang yang berada dalam kontrol organisasi, namun tidak dengan mereka yang berada di luar kontrolnya.

Untuk mengefektifkan waktu, Suratman melewatkan pembahasan kekerasan, eksploitasi dan penelantaran pada subjek orang dewasa (18 tahun ke atas) berisiko karena kedua subjek memiliki kesamaan dalam penjelasan konsep. Fasilitator kemudian mengantar peserta ke dalam diskusi tentang rumus umum RISIKO = KERENTANAN + FAKTOR EKSTERNAL. Kerentanan merupakan sesuatu yang inheren dan melekat, misalnya difabel itu melekat, maka dia rentan. Tapi semua difabel beresiko karena bergantung pada faktor eksternalnya.

Fasilitator kemudia menggambarkan tingkat risiko berdasarkan jenis kerentanan di tiap kelompok sebagaimana gambar berikut ini:

Orang Dewasa Perempuan—ODP lebih rentan dibanding Orang Dewasa Laki-laki—ODL. Anak Perempuan—AP lebih rentan dibanding Anak Laki-laki—AL. Anak-anak lebih rentan dibanding orang dewasa. Anak Perempuan Difabel—APD lebih rentan dibanding Anak Laki-laki Difabel—ALD. Dengan demikian, kerentanan yang ada pada anak-anak difabel itu bisa ganda, maka ketika kita bekerja mendampingi anak difabel berarti kita sedang bekerja untuk kelompok dengan kerentanan yang tinggi atau kerentanan ganda.

Suratman juga menegaskan bahwa, SIGAB dapat meminta dukungan dari LSM lain yang memiliki kompetensi di isu lain yang tidak dimilikinya, dengan saling berkoordinasi satu sama lain, sehingga menangani kasus secara tuntas. Terhadap pelaku, SIGAB tidak boleh hanya melihatnya dalam lingkup hukum positif. Setiap kasus yang terjadi harus dilihat sebagai potensi dan perlu upaya penanganan berbentuk intervensi terhadap pelaku pelanggar kebijakan.

Lebih lanjut Suratman menegaskan perlunya memilah mana yang menjadi ranah pelanggaran Kebijakan Safeguarding dan mana ranah pelanggaran hukum positif. Pelanggaran terhadap Kebijakan Safeguarding, ranahnya adalah SIGAB tidak melampaui kewenangan dari penegak hukum. Lembaga tidak bisa mengambil langkah-langkah seperti yang dilakukan kepolisian ketika terjadi pelanggaran hukum positif karena pelanggaran Kebijakan Safeguarding belum tentu pelanggaran hukum positif (pidana maupun perdata). Sabaliknya, pelanggaran terhadap hukum positif sudah bisa dipastikan sebagai pelanggaran  Kebijakan Safeguarding. Ketika terjadi satu situasi di luar ranah keduanya, di sini lah peran kode etik organisasi untuk dapat dimasukkan sebagai bagian dari Kebijakan Safeguarding.

Melihat situasi forum sudah mulai kurang kondusif, fasilitator menawarkan kepada peserta untuk masuk ke sesi ice breaking (seven boom). Dia kemudian mengajak seluruh peserta menuju ruangan yang lebih luas dan terbuka. Setelah suasana kembali cair, Suratman mengajak peserta kembali ke ruang pelatihan.

Video berjudul The Impossible Dream ditampilkan, seluruh peserta menyimak dengan seksama. Setelahnya video berakhir, Sratman meminta peserta menarik pesan dari video yang ditampilkan. Video ini dimaksudkan untuk menjadi pemantik diskusi sekaligus pengantar ke sesi selanjutnya yang membahas tentang konsep gender, perbedaan gender dan jenis kelamin, konstruksi sosial, bentuk-bentuk ketidakadilan gender dan kekerasan berbasis gender.

Fasilitator kembali pada pembahasan lingkup Kebijakan Safeguarding di konteks CBM Global, yang menurutnya berbeda dari NGO internasional lain. CBM Global tindakan kekerasan seksual yang melibatkan penerima manfaat sebagai pelanggaran Kebijakan Safeguarding. Jika di lembaga lain, tidak memasukkan penerima manfaat sebagai pelaku kekerasan seksual ke dalam Kebijakan Safeguarding, baik yang pelaku lakukan terhadap penerima manfaat lain maupun terhadap staf program, karena berada di luar kontrol lembaga. Namun bagi CBM Global hal itu masuk dalam lingkup Kebijakan Safeguarding mereka. Jika pelakunya adalah penerima manfaat program CBM maka insiden tetap harus dilaporkan pada CBM Global. Tetapi jika pelakunya adalah penerima manfaat program lain, maka itu tidak wajib dilaporkan pada CBM Global karena sudah berada di luar lingkup Kebijakan Safeguardingnya. Itu hanya masuk pada kebijakan safety dan security staf yang bekerja agar aman tapi bukan safeguarding.

Di sesi terakhir hari kedua pelatihan, peserta kembali diajak untuk membentuk 6 kelompok yang kemudian melakukan diskusi di dalam kelompok untuk identifikasi tanda/gejala ketika seseorang mengalami kekerasan dan dampak yang mungkin terjadi setelah kekerasan terjadi. Berikut adalah pembagian bentuk-bentuk kekerasan berdasarkan kelompok yang telah disepakati:

  • Kelompok 1: Kekerasan Fisik
  • Kelompok 2: Kekerasan Psikis/Verbal
  • Kelompok 3: Kekerasan Seksual
  • Kelompok 4: Eksploitasi Ekonomi
  • Kelompok 5: Eksploitasi Seksual
  • Kelompok 6: Penelantaran

Peserta diminta untuk menyelesaikan tugas kelompok ini dan menuangkannya ke dalam metaplan dan kemudian fasilitator menutup pelatihan hari kedua. Sedangkan untuk presentasi kelompok baru akan dilakukan di hari kedua karena keterbatasan waktu.

Tahapan Membangun Kebijakan Safeguarding

Sesi pertama di hari kedua Suratman memulainya dengan melakukan review materi-materi yang telah disampaikan sebelumnya. Sebagaimana telah disepakati, pelatihan dilanjutkan dengan presentasi oleh masing-masing kelompok membahas hasil diskusi dari tugas kelompok sebelumnya.

Setelah seluruh kelompok memaparkan hasil dari diskusi mereka, Suratman coba merangkum hasil diskusi terkait gejala dan dampak kekerasan. Secara umum gejala itu merujuk pada sesuatu yang muncul atau sesuatu itu mengindikasikan bahwa telah terjadi sesuatu. Namun seperti itu, gejala atau tanda itu belum tentu menunjukkan bahwa sesuatu itu sudah pasti terjadi. Sedangkan dampak memiliki dua bentuk yakni dampak yang muncul dalam jangka pendek dan dampak yang muncul dalam jangka panjang.

Terkait gejala atau tanda yang hadir di seseorang ketika mengalami kekerasan paling tidak ada dua yakni perubahan emosi dan perubahan sikap atau perilaku. Sedangkan tingkat keparahan dari dampak akibat kekerasan bisa berbeda di setiap korban, tergantung dari kemampuan resiliensi dan sistem pendukung yang ada disekitarnya.

Pada sesi berikutnya, Suratman memaparkan standar minimum Ketika akan membuat Kebijakan Safeguarding yakni Pertama, adanya pernyataan komitmen SIGAB untuk melindungi anak-anak dan orang dewasa berisiko dari kekerasan, eksploitasi dan penelantaran; Kedua, merumuskan tujuan Kebijakan Safeguarding, untuk apa kebijakan ini dibuat; Ketiga, Kebijakan Safeguarding memiliki prinsip yang melandasi keseluruhan dari kebijakan ini; Keempat, Kebijakan Safeguarding dapat mendefinisikan semua konsep yang digunakan secara eksplisit; Kelima, Kebijakan Safeguarding memuat ruang lingkup; Keenam, Kebijakan Safeguarding menjelaskan langkah-langkah pencegahan yang dilakukan organisasi; Ketujuh, kode etik atau code of condact/CoC yang memuat panduan dalam berperilaku; Kedelapan, panduan komunikasi atau etika pengambilan foto, video dan sumber informasi lainnya; Kesembilan, terkait pembagian peran dan tanggungjawab, walaupun safeguarding ini merupakan tanggung jawab semua orang dalam organisasi, tetapi ada beberapa orang focal poin yang diberikan peran dan tanggung jawab secara khusus untuk memastikan Kebijakan Safeguarding ini bisa ditegakkan; Kesepuluh, Kebijakan Safeguarding memiliki mekanisme pelaporan dan penanganan; dan Kesebelas, Kebijakan Safeguarding memiliki tools monitoring dan reviews.

Setelah coffee break, Suratman kembali menunjukkan beberapa foto dan meminta kepada peserta untuk menilai kepantasannya dan mengemukakan pendapat terkait penilaian masing-masing. Dari keenam foto yang ditampilkan berhasil memantik diskusi di peserta karena di beberapa foto, peserta mengemukakan pandangan yang berbeda-beda.

Bagi Suratman, hal yang kerap menjadi kekeliruan yakni meletakkan persetujuan, baik lisan maupun tulisan, di atas nilai-nilai kemanusiaan universal. Ini tampak pada contoh kasus sebuah organisasi dalam menggunakan foto anak difabel yang menunjukkan ketidak-berdayaan untuk menggalang dana kemanusiaan walaupun telah mendapat pernyataan persetujuan. Dalam kasus ini, baik Kebijakan Safeguarding maupun hukum positif sebenarnya tidak masuk dalam lingkup keduanya, tetapi secara etik, ada nilai-nilai yang tidak pantas sedang terjadi, misalnya mengeksploitasi ketidaberdayaan anak difabel untuk menggalang dana publik.

Setelah jeda istirahat dan makan siang berakhir, peserta kembali dibagi ke dalam 3 kelompok untuk mendiskusikan langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk merumuskan dan menjalankan Kebijakan Safeguarding. Setelah ketiga kelompok memaparkan hasil diskusinya, fasilitator merumuskan poin-poin yang memuat langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil oleh SIGAB yakni sebagai berikut:

  • Mengembangkan Kebijakan tertulis, disepakati bersama dan ditandatangani oleh Manajemen;
  • Menunjuk dan menetapkan focal poin dengan rumusan peran dan tanggung jawab yang jelas;
  • Mengembangkan dan melaksanakan orientasi, pelatihan dan penguatan kapasitas staf, relawan dan pihak-pihak terkait lainnya;
  • Memastikan semua orang yang masuk dalam lingkup kebijakan memahami dan menyetujui komitmen kepatuhan dengan menandatangani kebijakan dan kode etik (panduan perilaku);
  • Mempublikasikan, mempromosikan dan menyebarluaskan kebijakan;
  • Mengembangkan dan melaksanakan prosedur rekrutmen staf/konsultan/relawan yang meminimalisir potensi direkrutnya orang memiliki rekam jejak melakukan hal-hal yang diatur dalam kebijakan;
  • Mengintegrasikannya ke dalam rencana strategis organisasi, anggaran, penggalangan dana, kemitraan, kehumasan, pengadaan barang dan jasa, dll;
  • Mengembangkan asesmen risiko (program dan operasional), serta strategi mitigasinya;
  • Mengembangkan format dan panduan yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan; dan
  • Memonitor dan mengevaluasi implementasi kebijakan secara berkala.

Setelah jeda minum, peserta kembali ke ruangan dan kembali menerima pemaparan materi dari fasilitator terkait mekanisme pelaporan dan penanganan insiden. Paling tidak ada dua mekanisme yang perlu dipersiapkan yakni mekanisme pelaporan internal dan mekanisme pelaporan untuk masyarakat. Perlu membedakan dua mekanisme ini karena mungkin saja terdapat hambatan di masyarakat untuk melaporkan insiden ke organisasi. Adapun hal-hal penting yang perlu diperhatikan mekanisme pelaporan sebagai berikut:

  • Sediakan saluran pelaporan yang variatif (sms, WA, telp, kotak pengaduan, surat, email, tatap muka, dll) dan buatkan format pelaporan terutama menyangkut informasi dasar yang perlu ada dalam laporan;
  • Ada focal point yang ditunjuk dan ditetapkan;
  • Menyediakan alternative jika yang dilaporkan adalah focal point atau direktur;
  • Menyediakan pilihan untuk melaporkan tanpa nama pelapor;
  • Prinsip kerahasiaan harus diterapkan menyangkut terduga pelaku, terduga korban, saksi;
  • Konsultasikan/libatkan penerima manfaat dalam membuat mekanisme pelaporan;
  • Jika sudah memiliki mekanisme, maka publikasikan secara luas kepada penerima manfaat dan masyarakat;
  • Dalam konteks proyek yang didanai oleh CBM Global, semua dugaan pelanggaran harus dilaporkan ke safeguarding focal point CBM Global;
  • Harus jelas tahapannya dan tenggat waktunya;
  • Mencakup investigasi, pendampingan dan dukungan yang diberikan, rujukan antar lembaga (mekanisme, direktori Lembaga layanan), keputusan dan sanksi, serta terminasi kasus; dan
  • Wajib memastikan risiko, kerahasiaan, persetujuan, dan kepentingan terbaik bagi anak.

Di bagian akhir sesi ini, fasilitator juga menjelaskan bagaimana mekanisme pelaporan, saluran pelaporan yang disediakan dan penanganan dugaan pelanggaran atau insiden yang terdapat di CBM Global sebagai gambaran lainnya.

Sebelum menutup sesi hari kedua, Suratman meminta peserta untuk mengidentifikasi Lembaga-lembaga layanan yang ada di Yogyakarta ke dalam tabel. Hal ini dilakukan karena keterbatasan kemampuan, pemahaman ragam isu, sumberdaya manusia dan kompetensi yang ada di SIGAB sehingga masih membutuhkan dukungan dari lembaga penyedia layanan atau jejaring yang tersedia. Paling tidak table identifikasi memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. Nama lembaganya
  2. Layanan yang disediakan lembaga tersebut
  3. Alamatnya dimana
  4. Kontak yang dapat dihubungi

Merumuskan Dokumen Kebijakan Safeguarding SIGAB

Hari terakhir pelatihan, Suratman mengajak peserta pelatihan untuk lebih banyak melakukan simulasi, salah satunya cara menggunakan tools penilaian risiko Kebijakan Safeguarding: tools untuk melakukan penilaian (skoring) terhadap kapasitas untuk menunjukkan tingkat risiko, apakah tinggi, sedang atau rendah. CBM Global belum mempunyai tolls ini, tapi ada tools UN yang bisa digunakan yakni Preventing Sexual Exploitation and Abuse—PSEA. Indikator penilaian pada tools ini dikelompokkan ke dalam 6 bagian yang disebut dengan Standar Inti sebagai berikut:

  • Standar Inti 1: Kebijakan Organisasi;
  • Standar Inti 2: Manajemen Organisasi dan sIstem SDM;
  • Standar Inti 3: Pelatihan Wajib;
  • Standar Inti 4: Pelaporan;
  • Standar Inti 5: Bantuan dan Rujukan; dan
  • Standar Inti 6: Investigasi.

Dari simulasi yang perserta lakukan, SIGAB Indonesia mendapatkan skor 8 poin yang artinya secara kapasitas organisasi PEKS masih Rendah dengan tingkat risiko EKS Tinggi. Namun seperti itu, simulasi penilaian ini belum sepenuhnya menggambarkan situasi SIGAB secara komprehensif karena dari aktifitas dalam standar inti bisa saja sudah dilakukan bisa saja tidak terdokumentasi sehingga tidak ada dokumen yang dapat ditunjukkan untuk menjadi sumber verifikasi.

Selepas 15 menit jeda minum coffee, sesi dilanjutkan dengan membahas bersama hasil review CBM terhadap dokumen Kebijakan Safeguarding yang sedang dirumuskan SIGAB. Di sesi ini, Suratman membahas satu persatu catatan dari CBM kemudian mendiskusikannya dengan peserta. Hasil diskusi dicatat ke dalam draft dokumen kebijakan oleh salah seorang peserta. Bagian ini memakan waktu cukup panjang dan menjadi sesi penutup pelatihan.

Suharto, selaku Direktur SIGAB Indonesia berkesempatan hadir pada hari ketiga kemudian menutup kegiatan pelatihan, kemudian disusul ucapan terimakasih dari Wahyu sebagai Koordinator Program GOOD yang bertanggung jawab terhadap implementasi program, salah satunya Pelatihan Safeguarding yang menjadi bagian dari upaya peningkatan kapasitas dari pelaksana program.

Catatan Pelatihan

Melalui pelatihan ini, selain peserta diharapkan akan memahami Kebijakan Safeguarding, pelatihan juga bisa menjadi media sosialisasi kebijakan yang sedang diupayakan SIGAB. Perumusan ini juga dilakukan secara partisipatif karena melibatkan hampir seluruh entitas yang terkait langsung di dalam organisasi, baik melalui proses review dokumen yang dilakukan CBM Global maupun meminta langsung masukan melalui media komunikasi lainnya, salah satunya melalui WhatsApp Group.

Di Tim Program dan Manajemen selaku implementer program CBM, melalui pelatihan ini mendapat kesepahaman terkait Kebijakan Safeguarding yang sedang diupayakan oleh SIGAB. Hanya memang karena keterbatasan waktu, kegiatan ini belum sampai pada kesepakatan peran dan tanggung jawab untuk mendukung implementasi Kebijakan Safeguarding. Namun seperti itu, kesepahaman mengenai peran dan tanggung jawab dalam implementasi kebijakan telah terbagun sebagaimana yang menjadi tujuan pelaksanaan kegiatan pelatihan ini.

Dari kegiatan pelatihan ini juga menghasilkan beberapa catatan yang perlu mendapatkan tindak lanjut, di antaranya:

  1. Manajemen merevisi hasil review dokumen yang dilakukan CBM Global terhadap Kebijakan Safeguarding SIGAB Indonesia dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari seluruh pihak yang terkait langsung dengan organisasi;
  2. Membuat rencana strategi pengembangan dan pelaksanaan orientasi, pelatihan dan pengembangan kapasitas terkait Safeguarding di SIGAB Indonesia;
  3. Membuat kesepakatan terkait pembagian peran dan tanggung jawab secara eksplisit (focal poin) untuk mendukung implementasi Kebijakan Safeguarding SIGAB Indoneisa; dan
  4. Mengintegrasikan Kebijakan Safeguarding ke dalam Perencanaan Strategis SIGAB Indoneisa.

Mempertimbangkan metode lain dalam penyampaian materi Safeguarding selain menggunakan video Imposible Dream, karena apabila terdapat peserta dengan difabel autisme, mereka akan kesulitan dalam menangkap makna dari video yang disampaikan sepenuhnya menggunakan bahasa non-verbal (ekspresi, mimik wajah, gesture, suara tanpa makna verbal dan sebagainya.