Catatan Webinar #4 Program GOOD
Kontributor Program GOOD: Agung Prabowo
Pendekatan hak merupakan satu dari ragam pendekatan yang dapat digunakan untuk menilik sekelumit persoalan difabel dan relasi sosial di dalamnya. Program GOOD meyakini bahwa pendekatan hak-hak difabel mampu mengisi ruang-ruang kosong dari dua pendekatan sebelumnya, pendekatan individual (charity and medical approach) dan pendekatan sosial. Dalam perjalanannya, pendekatan ini terus mengalami pengembangan instrumen, terlebih setelah diadopsinya konvensi global untuk hak-hak difabel—UNCRPD (The UN Convention on the Rights of Person with Disabilities) pada Desember 2006.
Berangkat dari pergeseran pendekatan dalam menkaji isu-isu difabilitas di atas, Program GOOD kemudian berkomitmen untuk menciptakan ruang-ruang pembelajaran bagi para aktivis, pemerhati, akademisi maupun aktor pemerintah yang berkecimpung di isu-isu difabilitas. Program coba meletakkan prinsip-prinsip pemenuhan Hak-hak difabel melalui pengenalan awal terhadap konsep, sejarah, motivasi serta instrumen global yang digunakan untuk melindungi hak-hak dasar manusia (HAM). Melalui Webinar, sebagai salah satu entitas program untuk pengembangan kapasitas Organisasi Difabel, harapannya peserta tidak hanya saling membagikan pengalamannya, tapi juga dapat mengaplikasikan prinsip-prinsip dasar HAM di dalam kehidupan sehari-hari dalam perspektif difabilitas.
GOOD sebagaimana dalam perencanaan awal telah mempersiapkan 18 serial Webinar yang menjadi bagian dari platform pembelajaran bersama organisasi-organisasi difabel. Di pelaksanaan keempatnya ini, program coba mengangkat tema ‘Pendekatan HAM Dalam Perspektif Difabilitas’ dengan mengundang Antoni Tsaputra, dari Dosen Universitas Andalas sebagai narasumber. Rahmiatun, aktivis difabel perempuan dari SIGAB Indonesia siang itu bertugas untuk memandu jalannya diskusi pada Kamis, 31 Agustus 2023. Ada sembilan puluhan peserta hadir secara daring turut menyimak serta mendiskusikan implementasi pemenuhan hak-hak difabel. Di anatara peserta merupakan perwakilan dari ragam organisasi difabel yang tersebar di beberapa wilayah luar Pulau Jawa.
Setelah membacakan susunan acara dan riwayat singkat narasumber, Rahmi memberikan kesempatan kepada Antoni untuk memulai presentasinya. Antoni yang akrab dengan panggilan Uda ini membuka presentasinya dengan pertanyaan ‘Apa itu HAM?’. Peserta kemudian menanggapi pertanyaan, baik secara langsung maupun melalui kolom pesan. Diskusi di awal berjalan secara interaktif kemudian dilanjutkan dengan pemutaran video pendek tentang HAM dan kenapa Perspektif Disabilitas Berbasis Hak Asasi Manusia jadi relevan dan memberikan pengaruh luar biasa terhadap kebijakan.
Sejarah Deklarasi Universal HAM—DUHAM
Di awal, Uda Antoni coba mengajak peserta untuk menelusuri asal usul HAM dalam pusaran sejarah peradaban manusia. Menurutnya, HAM telah ada sejak lama yakni ketika peradaban telah mengenal aturan tertulis maupun kode etik yang mengakui hak-hak dan kebebasan individu dalam ragam bentuknya. Salah satunya pada 1754 SM, di Mesopotamia Kuno atau sekarang wilayahnya dikenal sebagai Irak, ditemukan Kitab Hammurabi yang berisi peraturan hukum yang melibatkan hak-hak dan kewajiban masyarakat. Di masa Yunani juga terdapat konsep partisipasi politik warga dalam proses pengambilan keputusan sebagai bentuk awal hak-hak politik. Walaupun hak-hak yang dimaksud masih terbatas pada kelompok laki-laki, ini merupakan awal menuju inklusivitas politik.
Secara kontekstual, konsep HAM yang dikenal saat ini banyak dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah modern, khususnya di Eropa dan Amerika utara, di mana gerakan sosial pada saat itu telah mendorong lahirnya prinsip-prinsip seperti kesetaraan, kebebasan dan hak individu. Beberapa tokoh seperti John Locke dan Voltaire turut berkontribusi dalam pemutakhiran prinsip tersebut. Inilah jalan bagi lahirnya dokumen yang mengatur hak asasi manusia, termasuk deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 1776 dan kemudian Konstitusi Perancis pada 1789—yang kemudian menjadi dasar lahirnya Deklarasi Universal HAM.
DUHAM ini mengakui bahwa setiap individu memiliki hak-hak fundamental yang tidak dapat dicabut oleh negara atau masyarakat. Pembentukan PBB pada 10 Desember 1948 telah memberikan mandat pada organisasi ini untuk menjaga perdamaian dan keamanan global kemudian mendorong dilaksanakannya DUHAM. Dokumen HAM yang dikonvensikan secara internasional kemudian menjadi standar bagi seluruh negara dan komunitas dunia untuk melindungi hak-hak dasar warganya.
Sejarah HAM Di Indonesia
Bagaimana kemudian HAM masuk di Indonesia dan menjadi intrumen hukum perlindungan hak-hak warga negara? Sejarah HAM di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Kolonial Belanda. Setelah proklamasi pada 1945, Indonesia memasukkan HAM sebagai bagian integral dari agenda nasional, serta dalam perumusan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara yang mengatur hak serta tanggung jawab warga negara.
Memasuki periode Orde Baru (1966-1998), terjadi begitu banyak pelanggaran HAM yang terjadi di bawah kepemimpinan militer. Kekerasan politik pasca peristiwa 1965 yang berujung pada tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi pada saat itu. Atas desakan publik, baik di tingkat nasional maupun internasional, Indonesia kemudian membentuk satu komisi untuk memperkuat perlindungan HAM. Kemudian pada 1993, dibentuklah KOMNAS HAM atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sebagai lembaga independen yang mempunyai mandat mempromosikan dan melindungi HAM di Indonesia. Bagi Uda Antoni, Komnas HAM yang dibentuk merupakan respon atas pelanggaran HAM yang banyak terjadi di masa Orde Baru.
Uda Antoni juga menjelaskan sejarah HAM di periode setelah reformasi, sebuah periode dimana HAM mendapatkan pengukuhannya kembali setelah 32 tahun dibungkam oleh rezim militeristik ala Soeharto. Sistem hukum dan kebijakan terkait HAM kembali menjadi sorotan publik. Kebijakan mereformasi sistem politik, hukum dan kebijakan pun dilakukan, salah satunya mereformasi Komnas HAM melalui Peraturan Perundang-Undangan.
Bagi Antoni, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong terbentuknya kesadaran individu maupun kolektif yang membuat penegakan HAM di Indonesia masih terus bertahan hingga saat ini, yakni motivasi budaya, politik dan hukum. Pertama, adanya nilai-nilai kemanusiaan dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang dapat ditemukan pada konteks gotong-royong yang mencerminkan solidaritas dan kebersamaan. Nilai-nilai ini kemudian secara inheren mendukung pengakuan dan menjaga HAM dalam kaitannya dengan kesetaraan dan keadilan. Kedua, motivasi politik turut mendorong suprastruktur politik sebagai pengambilan keputusan untuk memastikan perlindungan HAM. Kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah harus selaras dengan prinsip-prinsip HAM berlaku bagi semua warga negara, termasuk kelompok difabel dan kelompok rentan lainnya. Motivasi politik ini tampak pada regulasi seperti UUD dimana semua orang berkesempatan dalam pendidikan, kesehatan dan memiliki hak yang setara. Ketiga, hukum harus memberikan kerangka kerja yang jelas. Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat semuanya harus diharmonisasi untuk memastikan mekanisme dan perlindungan HAM berjalan dengan baik. Aturan hukum yang berlaku di Indonesia sudah banyak, misalnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan beberapa Peraturan Daerah—Perda yang juga bisa dikatakan sudah berperspektif HAM. Di isu difabilitas sendiri sudah ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang tentunya sudah berbasiskan pada HAM.
Konvensi Sebagai Intrumen HAM
Kita sudah meratifikasi beberapa Konvensi atau kita bisa disebut sebagai persetujuan internasional. Perangkat global diciptakan untuk menjaga dan mendorong penegakan HAM di seluruh dunia. Konvensi ini diciptakan atau dihasilkan oleh organisasi internasional PBB dan ditandatangani oleh seluruh negara anggotanya. Konvensi ini juga bisa di dorong oleh kelompok regional seperti Uni Eropa atau organisasi negara-negara Amerika. Konvensi ini mengatur berbagai jenis hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya serta hak khusus untuk semakin memberikan penguatan lebih kepada kelompok minoritas seperti hak anak, hak perempuan, hak migran dan hak penyandang disabilitas. Kalau kita di Indonesia sudah cukup banyak meratifikasi berbagai konvensi internasional seperti diskriminasi rasial, hak anak, The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women—CEDAW, CRPD, dst. CRPD ini perlu kita dalami terutama oleh organisasi difabel untuk kita kuasai.
Merujuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, ratifikasi adalah salah satu bentuk pengesahan perjanjian internasional di mana negara yang mengesahkan turut menandatangani naskah perjanjian tersebut. Ratisfikasi dapat juga disebut sebagai proses persetujuan negara untuk terikat oleh perjanjian internasional, baik di level nasional maupun internasional. Kaczorowska menilai ratifikasi sebagai tindakan formal dari negara untuk menerima substansi perjanjian internasional dan melaksanakannya.
Secara umum konvensi internasional ini mencakup hal-hal kunci untuk pengakuan terhadap HAM dan menekankan tanggung jawab negara untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak tersebut. Dan yang paling penting adalah diperlukan mekanisme pemantauan atau mekanisme monitoring. Tanpa pemantauan yang kuat dan jelas dalam penegakan HAM untuk anak-anak perempuan, anak dan disabilitas ini akan lemah. Inilah intinya dan kunci dari konvensi HAM tersebut, termasuk UNCRPD. Negara-negara yang menandatangani konvensi-konvensi HAM tersebut diwajibkan untuk mematuhi semua ketentuan yang ada di dalamnya dan secara berkala memberikan laporan mengenai kemajuan pelaksanaannya, termasuk laporan pemenuhan hak disabilitas untuk CRPD. Ini sudah dilakukan dan sudah ada keterlibatan aktif dari Organisasi Difabel terutama untuk laporan bayangan untuk mengimbangi aporan dari pemerintah.
Ini beberapa peran dan manfaat dari konvensi HAM seperti memberikan mekanisme penyelesaian dan mekanisme pemulihan ketika ada hak warga negara yang dilanggar. Tentunya salah satunya dapat memberikan dukungan dan kepada masyarakat terutama masyarakat yang masuk ke kategori masyarakat yang rentan hak-hak nya terlanggar. Jadi secara keseluruhan. Jadi konvensi ini adalah instrumen global yang krusial. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka harus diimplementasikan oleh pemerintah yang mulai pusat hingga daerah.
Pendekatan Berbasis HAM
Pendekatan berbasis hak asasi manusia (human rights-based approach) untuk kali pertama diinisiasi di tingkat internasional dimaksudkan untuk mengarusutamakan HAM ke dalam seluruh aktivitas dan program yang ada pada seluruh mandat dan system kerangka kerja PBB.[1] Pendekatan ini merupakan buah dari kesepahaman bersama mengenai tantangan global mendatang di isu-isu pembangunan, keamanan, dan perlindungan HAM merupakan hal yang saling berkaitan satu sama lain.
Di Indonesia, reformasi kebijakan untuk mendorong pendekatan berbasis HAM mulai didorong sejak Pemerintah Indonesia turut menandatangani konvensi internasional untuk difabel pada tahun 2006. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti 10 tahun setelahnya dengan meratifikasi UNCRPD melalui Undang-Undang 9/2011. Sejak itu, hak-hak kelompok minoritas, khususnya difabel, dari yang awalnya hanya sebagai masalah kesejahteraan kemudian mengalami pergeseran paradigma dan membawa isu disabilitas ini pada pemenuhan hak-hak difabel.
Melalui gerakan advokasi kebijakan yang didorong oleh kerja kolaboratif aktifis difabel, organisasi difabel dan organiasi masyarakat sipil lainnya sejak 2013 kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 sebagai payung hukum gerakan menuju Indonesia inklusif. Jika HAM kemudian dibentuk lembaga beranama Komnas HAM untuk memperkuat pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi HAM di Indoensia, begitu pula yang dilakukan pada pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak difabel dimana terbentuk satu komisi bernama Komisi Nasional Disabilitas—KND.
Setelah memaparkan perjalanan sejarah HAM dalam konteks global, nasional dan daerah, Antoni melanjutkan pembahasannya dengan menjabarkan satu persatu konsep dalam perspektif difabel berikut pendekatan dan prinsip-prinsip yang digunakan dari masa ke masa. Sebelum menutup presentasinya, tidak lupa dia melihat peran aktivis difabel dan organisasi difabel sebagai aktor utama di dalam perspektif difabilitas berbasis HAM. Organisasi difabel yang berperspektif HAM harus bertindak sebagai defender atau pembela hak-hak penyandang disabilitas, menginternalisasi prinsip-prinsipnya ke dalam program kerja maupun kegiatan organisasi sehari-hari.
Refleksi Dan Berbagi Pengalaman di Daerah
Sebagai pemicu diskusi, Rahmi mengajak peserta untuk merefleksikan beberapa kontradiksi yang ada di dalam gerakan reformasi kebijakan difabilitas di Indonesia. Payung hukum difabilitas berupa Peraturan Perundang-Undangan yang sudah ada tidak jarang implementasinya tidak berjalan baik, bahkan di beberapa kasus tidak dilaksanakan sama sekali. Baginya, memang ada pergerakan yang terjadi sejak dekade 2000an, meskipun saat ini perubahan yang dirasakan belum maksimal. Dia kemudian coba mengangkat satu contoh terkait aksesibilitas di fasilitas publik. Di beberapa wilayah mengaku sudah mengupayakan aksesibilitas publik, meskipun pelaksanaannya belum sesuai sebagaimana diatur dalam Permen Pekerjaan Umum.
Bagi Rahmi, peraturan di tingkat nasional sudah cukup jelas namun implementasinya di tingakt daerah masih kerap terjadi ketidak-paduan pemahaman dan komunikasi di antar pemangku kepentingan. Lebih lanjut moderator bersepakat dengan apa yang narasumber sampaikan di akhir presentasinya bahwa di sinilah pentingnya peran aktivis difabel bersama organisasinya untu terus mendorong serta membersamai Pemerintah Daerah dalam merumuskan peraturan turunan di tingkat daerah (Perda Disabilitas) maupun mendorong pembentukan unit-unit layanan difabel di daerah. Gap penyelarasan dan implementasi kebijakan difabel di daerah ini bukan tidak mungkin untuk diperkecil, hanya memang dibutuh proses panjang.
Selama proses Webinar berlangsung, beberapa peserta memanfaatkan chattbox untuk merespon dan mengajukan pertanyaan reflektif mereka yang merepresentasikan bagaimana implementasi kebijakan difabel itu berjalan di berbagai wilayah. Apa yang disampaikan Abraham Ismed misalnya, hak-hak difabel, khususnya hak politik tidak jarang hanya sebagai pemanis demokrasi di mana partisipasi yang dibangun dalam merumuskan kebijakan adalah partisipasi semu. Baginya, keterlibatan difabel masih sangat terbatas karena tidak mewajibkan untuk menghadirkan difabel yang merepresentasikan kelompok di dalam proses pembuatan kebijakan. Hal serupa juga disampaikan oleh Barry Egi Julianto dan Suwarni Nini, dimana penyelarasan kebijakan difabel di daerah terkait aksesibilitas pada layanan publik masih kurang mengedepankan kualitas dan profesionalisme. Apa yang keduanya sepakati adalah aksesibilitas yang diupayakan terkesan sebagai bentuk formalitas semata. Lebih jauh lagi Yosi Mailandri merasakan ini bukan hanya prihal formalitas, tapi benar-benar masih minim dalam implementasi. Dia melihat hak-hak difabel di wilayahnya, terutama di sektor ketenagakerjaan, implementasi kebijakan difabel masih sangat minim dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah maupun perusahaan-perusahaan swasta dalam hal penerimaan tenaga kerja difabel.
Lain hal yang dihadapi Junita di Manado. Dia mengangkat persoalan ketikan difabel berhadapan dengan hukum dimana peradilan yang masih menggunakan hukum positif yang berlum tersinkronisasi dengan kebijakan difabel. Dia kemudian mengajukan dua pertanyaan terkait biaya yang difabel harus keluarkan untuk jasa advokad ketika berhadapan dengan hukum dan penyeragaman ketentuan hukum bagi difabel yang menjadi pelaku. Paulus Kamulung dari PAHDIS NTT turut menimpali dengan pengalamannya. Menurutnya, tidak jarang pelanggaran HAM terhadap kelompok difabel dilakukan oleh oknum, yang sangat disayangkan, banyak kasus seperti ini terjadi di panti-panti sosial yang dikelola oleh Pemerintah.
Pendekatan karitatif yang berujung pada sitgmatisasi dan diskriminasi juga masih menjadi perhatian peserta, sebagaimana yang disampaikan oleh Yusriadi dari IPDP Aceh dan Ana Rastunigtyas. Hingga saat ini, kelompok difabel masih dipandang sebagai objek yang harus mendapat belas kasihan dari masyarakat. Situasi ini cukup disayangkan mengingat ada hal lain yang cukup sering difabel hadapi di masyarakat yakni sitgma negatif. Difabel dengan kondisi ekonomi mapan/kaya dan berprestasi saja yang mendapat pengakuan dari masyarakat, sedangkan mereka yang miskin dan tidak berprestasi/menonjol masih kerap diremehkan.
Kamaludin dari PPDI Cianjur menyambut ragam respon peserta lain dengan mengajukan masukan untuk pelaksanaan Webinar. Menurutnya, perlu untuk menghadirkan pemangku kepentingan di kebijakan difabel, terutama Kementerian Sosial dan Pemerintah Daerah sebagai implemetor kebijakan difabel. Menghadirkan yang dimaksud di sini adalah dengan melayangkan undangan ke mereka agar hadir di Webinar selanjutnya.
Di sesi diskusi, M. Yusuf dari PPDI Sumatera Utara turut menyampaikan tanggapannya pada forum. Senada dengan Kamaludin, dia memberikan masukan agar Webinar berikutnya bisa mengundang Pemerintah Daerah agar diskusi yang dilakukan memiliki tindak lanjutnya. Ketika Pemerintah sebagai implementor kebijakan difabel tidak dilibatkan dalam diskusi, langkah ini akan mempermudah gerakan yang teman-teman aktivis difabel daerah untuk mendorong kebijakan turunan (Perda Disabilitas) maupun sinkronisasi kebijakan di tingkat daerah.
“Karena bukan sedikit aturan sudah diterbitkan pusat untuk daerah, tapi mungkin miskomunikasi terjadi dari pusat ke daerah. Seperti penerimaan tenaga kerja disabilitas sudah diatur harus membentuk ULD. Namun ini masih berfokus di pemerintahan daerah Jawa saja, tapi daerah lain tidak ada. Di Sumut saja, baru Disnaker Kota Medan saja yang membentuk ULD. Tapi hal unik kami temukan saat ULD di Disnaker Kota Medan, dalam setiap kegiatan mereka fokus hanya pada swasta saja tapi bukan pada dirinya sendiri. Padahal di UU 8/2016 disebutkan, instansi pemerintah harus ada kuota 2% dan swasta 1%. Jadi itulah miskomunikasi yang terjadi dari pemerintah pusat ke daerah”, Yusuf menceritakan.
Hampir serupa yang terjadi di Sumut, di Aceh pun ketidaksinkronan dan kemandekan sinkronisasi kebijakan difabel di tingkat daerah kerap terjadi akibat komunikasi yang buruk di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah selaku implementor dan minimnya keterlibatan difabel di dalam prosesnya.
“Baru bulan lalu kami coba memperjuangkan Perda atau Qanun, dan ini terkendala dari Pemda. Meski sudah diakui dan disediakan anggaran untuk pembahasan Qanun perlindungan hak disabilitas. Tapi setelah kami telusuri, kenapa Qanun tidak kunjung dibahas, ternyata Pemda hanya menganggar dana untuk paripurna saja, jadi dititipkan di dewan. Sedangkan dikantor hukum tidak ada penganggaran untuk pembahasan Qanun. Sehingga Qanun perlindungan hak disabilitas di Kabupaten Pidie gagal dilakukan di tahun 2023”, keluh Sulaiman.
Sulaiman juga mengeluhkan layanan kesehatan yang masih didominasi oleh pendekatan medis. Misalnya ketika dokter akan mengambil keputusan sebelum melakukan tindakan medis operasi, keputusan itu harusnya melalui diskusi bersama pasien dan keluarganya. Dari pengelamannya, dokter justru mengambil keputusan mengoperasi pasien difabel tanpa ada komunikasi sebelumnya. Baginya, hal ini terjadi karena pendekatan yang digunakan dokter masih pendekatan medis dimana kondisi difabel sebagai individu yang sakit, yang pada akhirnya, cara terbaik untuk tindakan medis menurut dokter adalah dengan melakukan operasi.
Celah-Celah Yang Perlu Diisi Oleh Organisasi Difabel
Hingga saat ini, masih terdapat jurang cukup besar antara Peraturan Perundang-Undangan dengan implementasi konkrit kebijakan di dalam kehidupan sehari-hari. Situasi seperti ini tidak hanya dialami oleh Indonesia saja, tapi juga terjadi pada negara-negara di belahan dunia yang lain. Faktanya, kebijakan perundangan masih membutuhkan waktu untuk dapat diimplementasikan secara baik sebagaimana yang diharapkan. Jika ditarik dalam konteks Indonesia, implementasi kebijakan perundangan masih cukup rumit. Pasalnya, kebijakan di tingkat nasional tidak serta-merta dapat diimplementasikan di tingkat daerah setelah disahkan melalui proses legislasi. Menurut Antoni, hal ini terjadi karena selain Undang-Undang, masih ada regulasi turunan seperti PP, Permen, Perda, Perwali, Perbup dan sebagainya yang akan lahir sebagai regulasi pendukung sehingga membuat hirarki kebijakan itu menjadi cukup banyak. Jika dibandingkan dengan negara tetangganya, Malaysia, Indonesia masih jauh lebih maju secara regulasi di dalam upaya perlindungan hak-hak difabel. Hanya memang masih perlu waktu untuk melakukan harmonisasi kebijakan sehingga inilah yang menjadi PR bersama ke depan.
Menarik prihal politik, apalagi semakin mendekati tahun politik dimana dapat menjadi momentum untuk mendorong teman-teman difabel untuk lebih terlatih menggunakan hak-hak politiknya. Jika sebelumnya gerakan difabel hanya bicara soal jaminan hak untuk memilih, sekarang sudah lebih maju lagi karena sudah ada kelompok difabel yang menuntut jaminan hak untuk dipilih. Hak politik yang sudah disodorkan sejak awal kemudian mendorong teman-teman difabel untuk berpartisipasi dan berkompetisi di dalam kontestasi politik lima tahunan. Antoni menyoroti Pemilu sebelumnya, dimana terdapat hampir 40 difabel mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif. Sayangnya, hanya 1-2 orang saya yang berhasil mendapatkan kursi representatif di DPRD. Ini bisa menjadi fokus advokasi lainnya di gerakan difabel, terutama kebijakan kuotasi sebagaimana advokasi yang dilakukan gerakan perempuan untuk mendapatkan kuota di legislatif.
Sebelum menanggapi respon peserta, Antoni kembali mengajukan pertanyaan reflektif kepada peserta terkait perubahan pendekatan dalam melihat permasalahan difabel. ‘Apakah kita sudah betul-betul bergeser dari paradigma lama kita dalam memandang disabilitas, yang sebelumnya karitatif atau medis menuju ke pendekatan HAM? Apakah pendekatan HAM telah terinternalisasi di kita, terutama di pemangku kepentingan dan pengambil keputusan?’ Selain paradigma yang sudah seharusnya bergeser ke pendekatan HAM, Dia juga menekankan agar Organisasi-Organisasi Difabel menggeser gerakannya pada kerja-kerja advokasi kolaboratif, terlepas apapun karakteristik organisasinya. Advokasi itu sendiri tidak dalam artian hanya difokuskan pada satu kebijakan yang mengatur secara langsung kelompok difabel saja, tapi advokasi yang dilakukan di semua sektor dan tingkatan. Jika sebelumnya gerakan difabel kerap menggunakan tagline ‘nothing about us without us’, kini sudah harus bergerak lebih jauh dengan mengusung tagline ‘everythink about us, nothing without us!’.
Bagi Antoni, Program GOOD yang memilih IPDP Aceh sebagai salah satu organisasi difabel mitra bisa menjadi contoh kerja kolaboratif dalam upaya mengurangi kesenjangan kapasitas Organisasi-Organisasi Difabel di Pulau Jawa dengan Sumatera. Harapannya, IPDP akan lebih kuat dari sisi advokasi setelah mengintegrasikan rencana tindak lanjut advokasi kebijakan daerahnya ke dalam skema Program GOOD. Selain memfasilitasi pengembangan kapasitas organisasi mitra program, GOOD dapat menghubungkan kerja-kerja advokasi yang IPDP kerjakan di daerah ke tingkat nasional bersama organisasi-organisasi difabel lain yang sedang mengupayakan hal yang sama. Ke depan, IPDP bersama Program GOOD diharapkan akan mampu membuat perubahan konkrit dan nyata di Aceh, terutama untuk melahirkan Qanun yang benar-benar merepresentasikan kelompok difabel dengan partisipasi penuh dan bermakna.
***
Kurang lebih tiga jam Uda Antoni membersamai peserta Webinar #4 yang dimulai sejak pukul 13.00 WIB. Peserta tidak hanya mendapat informasi dari proses ini, tapi juga bersama-sama merefleksikan upaya-upaya advokasi yang sedang diupayakan organisasi-organisasi difabel di berbagai wilayah di Indonesia. Sebelum menutup Webinar, Moderator kembali mengajak peserta untuk tetap bersikap optimis di tengah berbagai persoalan yang sedang dihadapi kelompok difabel serta konsisten bersama gerakan difabel yang sedang mengupayakan kerja-kerja advokasi untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif.[]