Search

+62-274-284 0056

Search
Close this search box.

Aktivitas Sigab

Share halaman ini ke:

Mereka: Difabel Yang Tak Tampak, Memiliki Hambatan Ganda Dan Kurang Mendapat Perhatian.

Catatan Pembelajaran Advokasi Berperspektif GEDSI di Timur Indonesia

Kontributor Program GOOD: Agung Prabowo

 

Belum lama ini, Program GOOD menyelesaikan rangkaian pelatihan advokasi berperspektif Gender Equality, Disability and Social Inclusion—GEDSI yang ditujukan kepada 16 Mitranya di kawasan Indonesia Timur dan Tengah. Sebagaimana pelatihan sebelumnya di Region Barat, terdapat sejumlah pembelajaran menarik dari proses yang dilalui peserta dengan ragam kedifabelan yang ada.

Bukan tanpa alasan Bali disepakati sebagai tempat pelaksanaan pelatihan. Selain merepresentasikan wilayah Indonesia Timur dan Tengah, Bali juga menjadi wilayah kerja dari salah satu organisasi mitra Program GOOD yakni Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia—HWDI Bali. Sebagai tuan rumah, harapannya HWDI mendapatkan kesempatan untuk berbagi konteks advokasi dan pengorganisasian difabel dari wilayahnya.

Pelatihan yang dilaksanakan sejak 23 hingga 27 Oktober 2023 lalu merupakan pelatihan keempat yang dilaksanakan oleh Program GOOD. Untuk membersamai para mitra program, SIGAB Indonesia menghadirkan 3 Penelis Ahli dengan ragam latar belakang. Mereka bertugas memfasilitasi 24 peserta dari 8 organisasi difabel selama 5 hari. Mereka adalah Yuniyanti Chuzaifah yang sebelumnya sebagai Ketua dan Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan—Komnas Perempuan, Antoni Tsaputra dengan latar belakang sebagai akademisi (dosen) sekaligus aktivis pergerakan difabel di Sumatera dan Joni Yulianto penggiat/aktifis difabel yang fokus mendorong gerakan inklusifitas dan kesetaraan di Indonesia.

Pelatihan Advokasi berbasis GEDSI ini semakin tampak dinamikanya dengan hadirnya ragam difabel yang masih kurang mendapat perhatian, salah satu individu albinisme yang terhimpun di dalam organisasi bernama Albino Indonesia Family—AIF. Belum banyak khalayak yang mengenal Albinisme sebagai ragam difabel, selain karena jumlahnya yang sedikit, ragam difabel ini masih kurang diperbincangkan dalam forum-rorum diskusi terkait disabilitas. Walaupun menonjol secara fisik—tampak pada warna kulit, rambut dan mata yang berwarna keputihan—faktanya mereka sebagian besar mengalami kedifabelan ganda pada kulit dan penglihatan. Individu Albinisme ini lebih populer dengan sebutan Albino.

Albino Dalam Identitas Kelompoknya

Jumlah difabel Albino di seluruh dunia saat ini cukup variatif. Data WHO tahun 2021 menyebutkan, angka Albino di Eropa dan Amerika Utara dapat dihitung melalui perbandingan satu dari 20.000 jiwa. Berbeda dengan Afrika, dimana variasi perbandingannya yakni satu per 5.000 jiwa sampai satu per 15.000 jiwa. Beranjak ke Benua Afrika, antara lain Tanzania terdapat satu dari 1.500 jiwa dan satu dari 5.000 hingga 15.000 di sub-wilayah lain di Afrika. Di beberapa kawasan tertentu di Afrika, perbandingannya bahkan dapat meningkat hingga satu per 3.000 jiwa. Jika dirata-ratakan, terdapat satu dari 17.000 jiwa di seluruh dunia dilahirkan dengan albinisme.

Data yang disajikan WHO di atas tentu memunculkan begitu banyak pertanyaan sekaligus fakta menarik terkait Albino. Salah satu pertanyaan paling kritis mengemuka dari kalangan aktivis HAM, kenapa data yang tersaji hanya dalam bentuk rasio dan bukan data jumlah riil Albino di satu wilayah? Pertanyaan ini kemudian menguatkan fakta bahwa Albino sebagai ragam difabel yang memiliki hak yang sama dengan individu lain masih belum mendapatkan identitas kelompoknya di dalam pendataan, baik secara global, regional maupun spesifik wilayah tertentu.

Fakta-fakta kontekstual Albino inilah kemudian yang menjadi perhatian khusus buat AIF untuk terus menghadirkan essistensi identitas kelompoknya dalam ruang-ruang diskusi difabilitas maupun aspek-aspek lain di masyarakat. Memperkenalkan identitas mereka buat AIF bukan hanya sekadar keinginan menunjukkan eksistensi sebagai salah satu ragam difabel, tapi juga memperjuangkan hak-hak Albino di seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. “Jumlah yang sedikit bukan berarti kita tidak penting. Kita ingin hak-hak kami sebagai Albino bisa disejajarkan sama yang lain, Albino sebagai manusia”, keluh Andreas di sela istirahat saat pelatihan advokasi.

Dari rilis WHO terkait data Albino, cukup disayangkan karena Indonesia tidak menjadi salah satu wilayah yang disampling. Padahal, ada beberapa wilayah di Indonesia yang angka Albinonya jauh lebih tinggi dari angka rata-rata dunia, salah satunya di Desa Ciburuy, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pada 25 Juli 2018, Jakarta Globe sempat membuat sebuah liputan dengan mengunjungi langsung Ciburuy. Warga yang ditemui langsung oleh peliput, membenarkan bahwa tingginya angka kelahiran walanda sunda[1] telah terjadi dalam keluarga mereka selama berabad-abad.[2]

Ciburuy tentu hanya satu dari banyak tempat di Indonesia yang menjadi pusat Albino banyak bermukim. Tempat lainnya yang juga kerap diangkat dalam liputan-liputan media luar yakni Pulau Buton, dimana banyak ditemukan individu dengan bola mata berwarna biru karena pigmentasi. Walaupun dikenal sebagai penyelam dasar laut yang andal, Albino jenis ini sebenarnya mengalami hambatan penglihatan ketika berada di permukaan. Sayangnya, sebagian besar liputan tentang orang-orang Buton bermata biru ini tidak sama sekali mengidentifikasi mereka sebagai ragam difabel, khususnya salah satu ragam yang ada di Albino. Lalu, sebenarnya apakah Albinisme atau Albino itu? Seperti apa ragam yang ada di dalamnya? Kenapa Albino dikatakan sebagai ragam difabel?

Mengenal Albino Dari Pelatihan GOOD

Siang itu, matahari sudah hampir di atas ubun-ubun. Beberapa peserta pelatihan mengeluhkan penerangan ruangan yang kurang sehingga mengalami kesulitan mengikuti jalannya pembelajaran. Fasilitator pun dengan sigap meminta tim untuk membantu membuka tirai jendela.

Setelah beberapa saat, peserta dari AIF tampak gelisah. Salah seorang dari mereka mengambil penutup kepala untuk melindungi matanya dari paparan cahaya yang masuk melalui jendela. Fasilitator yang menyadari perubahan prilaku peserta AIF ini pun segera bertindak dengan menanyakan apa yang sedang terjadi. Andreas akhirya angkat bicara dan mengakui bahwa dia dan rekannya sedikit terganggu dengan cahaya yang terlalu terang dari arah jendela. Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya sebagian tirai dikembalikan seperti semula dengan tujuan mengakomodasi hambatan yang dialami Albino yang sangat sensitif terhadap cahaya.

Dari kejadian tadi, semua orang dalam perlatihan melakukan refleksi langsung dari hambatan masing-masing. Memberikan akomodasi layak untuk semua ragam hambatan bukanlah perihal mudah, namun masih bisa dibicarakan bersama-sama. Dalam konteks upaya mengakomodasi pembelajaran yang layak untuk semua, perlu saling mengenal satu sama lain. Tidak hanya mengenal hambatan yang tampak, tapi juga hambatan yang tidak terlihat. Maka, di sini pentingnya komunikasi dari seluruh pihak dalam pembelajaran di pelatihan untuk bisa saling mengenal dan memperkenalkan hambatan yang dialami.

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, sangat jelas bahwa ada fakta Albino sebagai ragam difabel masih kurang dikenal secara umum. Albino sebagai identitas, individu yang memiliki ciri fisik berbeda dari individu kebanyakan saja yang cukup banyak dipahami. Tapi belum secara mendalam mengetahui penyebab, ragam dan hambatan yang Albino miliki.

Albinisme dalam Bahasa Latin disebut dengan albus atau ‘putih’. Istilah ini merujuk pada kondisi gangguan hipopigmentasi bawaan akibat kekurangan ataupun ketiadaan Pigmen Melanin pada matakulit, dan rambut. Kondisi ini merupakan gangguan genetik langka yang diwariskan oleh gen[3] dan alel resesif.[4] Melanin itu sendiri berperan dalam pewarnaan retina di penglihatan. Inilah yang menjelaskan fakta Albino yang mengalami penurunan fungsi penglihatan.

Kelainan genetik yang dialami Albino ini cukup langka karena tidak banyak kasus yang disebabkan oleh perubahan atau mutasi pada gen dan memengaruhi produksi melanin. Melanin merupakan pigmen yang dihasilkan oleh sel melanosit. Mutasi pada gen-gen tersebut menyebabkan produksi melanin mengalami pengurangan atau bahkan tidak diproduksi sama sekali. Individu dengan gangguan hipopigmentasi tidak hanya mengalami perubahan warna pada mata, kulit dan rambut, tapi juga berimplikasi pada gangguan lainnya yakni hambatan penglihatan dan kulit yang mudah iritasi oleh paparan langsung cahaya matahari.

MATA: Albinisme memiliki warna iris mata yang bervariasi, mulai dari abu-abu cerah, biru, cokelat, hingga kemerahan. Iris mata yang transparan diakibatkan kurangnya melanin pada retina. Mereka juga rentan mengalami gangguan penglihatan. Melanin tidak hanya berperan memberi pewarnaan pada retina tapi juga berpengaruh pada kemampuan penglihatan. Itulah sebabnya Albinisme cenderung memiliki warna mata transparan dan mengalami gangguan penglihatan (mata minus atau plus). Masalah lain yang kerap hadir yakni pergerakan mata yang sulit dikendalikan (nistagmus)[5], mata juling (strabismus), dan mata sensitif cahaya (fotofobia). Pada kondisi ini, pandangan bisa menjadi tidak fokus dan mengaburkan objek penglihatan. Karena umumnya tidak dianggap gangguan serius, gejalanya cukup sulit untuk disadari, bahkan oleh dirinya sendiri.

KULIT: Manusia tidak perlu melanin untuk bertahan hidup. Namun, kekurangan zat ini bisa menimbulkan gangguan kulit akibat radiasi UVA dan UVB dari sinar matahari.

Individu Albino menghasilkan vitamin D lima kali lebih cepat dari individu berkulit gelap. Kurangnya melanin, dapat membuat paparan cahaya matahari lebih mudah masuk dan meresap ke dalam kulit selama terkena sinar UV. Akibatnya, Albino lebih berisiko terbakar ketika terpapar langsung cahaya matahari. Paparan sinar matahari tanpa pelindung sama sekali menunjukkan fakta bahwa Albino memiliki risiko lebih tinggi mengalami kanker kulit melanoma.

Dari sini, dapat disimpulkan paling tidak terdapat dua kategori umum hambatan yang dimiliki oleh Albino yakni hambatan penglihatan dan hambatan pada kulit. Kemudian menarik untuk melihat kategorisasi yang coba dirumuskan oleh National Organization for Albinism and Hypopigmentation, dimana terdapat dua kategori utama dari Albino yakni Albinisme Okulokutaneus dan Albinisme Okular. Albinisme okulokutaneus atau OCA melibatkan tanda-tanda yang meliputi perubahan warna pada mata, rambut, dan kulit akibat mutasi gen. Sedangkan Albinisme Okular atau OA, yang lebih jarang terjadi, umumnya hanya melibatkan perubahan mata.

AIF Sebagai Gerakan Sosial Berorientasi Identitas

Program GOOD dalam proses seleksinya kemudian memilih 16 organisasi difabel dengan ragam situasi dan bentuk. Beberapa mitra didapatkan menganut prinsip inklusifitas dalam keanggotaan maupun kepengurusan yakni melibatkan individu non-difabel  di dalamnya. Pada situasi tertentu, ada pula organisasi yang komposisi non-difabelnya lebih besar ketimbang difabel karena situasi tertentu dan ragam alasan yang melatarinya. Bentuk lainnya, walaupun tidak diatur secara tegas, bersifat tertutup menggunakan identitas kedifabelan tertentu sebagai anggota maupun kepengurusan. AIF dalam konteks saat ini berada pada situasi yang terakhir.

Pilihan menjadi organisasi dengan ‘identitas tertutup’ atau kerap dihaluskan menjadi organisasi difabel yang ‘spesifik’ bukannya tanpa konsekuensi. AIF dalam perjalannya kemudian cukup kesulitan untuk mengumpulkan keanggotaan baru di organisasi, bahkan untuk mengembangkannya karena sumberdaya manusia yang sangat terbatas. Hal ini kemudian dipertegas dengan fakta bahwa jumlah individu Albino sangat kecil dan hidup tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang luasnya mencapai hampir 2 juta meter persegi yang dipisahkan perairan yang luasnya 3 kali lipat luas daratan.

Di tangan H. Andreas Kawet dan kawan-kawannya, AIF memanfaatkan teknologi komunikasi dan media sosial untuk mempersempit jarak di antara mereka. Dalam struktur organisasi tingkat nasional, AIF memiliki struktur kelembagaan yang lentur. Pengurusnya tersebar di beberapa wilayah seperti Kupang, Purwokerto, Jakarta dan sebagainya dengan pusat komando berada di Kota Manado, Sulawesi Utara. Hanya ada 2 orang pengurus inti yang tinggal di satu kota yang sama. Facebook dan WhatsApp Group menjadi media komunikasi utama dalam menjalankan organisasi. “Kalau rapat besar, kita daring semua. Belum pernah ada pertemuan besar yang kita ketemu semua di satu tempat, bahkan pengurus”, cerita Andreas kepada penulis.

Situasi organisasi AIF yang berjalan saat ini, tentu tidak dapat disamakan organisasi-organisasi konvensional pada umumnya. Faktanya, dengan model kelembagaan yang ada sekarang, AIF telah berjalan kurang lebih 3 tahun terakhir yakni sejak 2021 lalu. Jika dibandingkan dengan organisasi Albino sebelumnya yang jauh lebih awal hadir yakni Komunitas Albino Indonesia—KAI[6], menurut hemat penulis, AIF memiliki visi yang lebih ‘serius’ sebagai aktor dalam gelanggang gerakan inklusifitas di Indonesia. Mereka tidak hanya sekadar berhimpun karena modal identitas kolektif yang ada, tapi juga memiliki cita-cita sebagai satu gerakan sosial di masyarakat agar Albino mendapatkan hak yang setara dengan warga negara lainnya. Visi AIF ini hampir serupa dengan gerakan Albino yang ada di kawasan Amerika Serika-Kanada yang terhimpun dalam National Organization for Albinism and Hypopigmentation—NOAH. Dalam laman resminya, NOAH menyebutkan misi sebagai saluran penyedia informasi akurat tentang seluruh aspek kehidupan Albino serta menyediakan ruang bagi individu Albino dan keluarga mereka agar dapat menemukan penerimaan, dukungan dan persahabatan.

Lalu, seperti apa jenis organisasi AIF sebenarnya? Berikut adalah aspek-aspek fundamental organisasi AIF dan alasan yang mendasari organisasi ini tidak hanya sekadar organisasi difabel saja, tapi juga sebuah organisasi gerakan yang menurut hemat penulis akan menjadi aktor penting dalam skema besar gerakan sosial di Indonesia.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, AIF menjadi organisasi yang bersifat ‘tertutup’ baik secara keanggotaan maupun kepengurusan. Hal ini terjadi karena AIF dibentuk di atas kepentingan bersama individu-individu Albino yang secara emosional merasakan keterhubungan satu sama lain di dalam satu identitas kolektif. Sebagaimana dijelaskan oleh Hunt dan Benford yang melihat identitas ini sebagai dorongan kepentingan yang hadir secara emosional dan berkenaan dengan perasaan yang terikat dalam identitas kolektif. Konsep identitas kolektif (collective identity) yang dimaksud merunjuk pada konsep pemaknaan yang berkembang melalui proses interaksi dan pemaknaan antara beberapa individu atau dalam suatu kelompok mengenai peluang dan hambatan untuk sampai pada aksi kolektif (Wicaksono, 2010, hal. 32). “Interaktif dan kebersamaan” mengakibatkan elemen dari identitas kolektif itu terbentuk dan dinegosiasikan secara berulang ke dalam aktivasi hubungan yang mengikat para aktor (Melucci, p. 44).

Dalam konteks AIF, albinisme menjadi pengikat identitas kolektif individu-individu di dalamnya. Hal yang penting menjadi catatan adalah ketika persepsi individu-individu Albino seperti Andreas dan Noldy menempatkan organisasi sebagai alat dari gerakan yang memiliki visi lebih luas dari sekadar membesarkan organisasi. Keduanya bukanlah aktor-aktor baru di gerakan difabilitas karena sebelumnya mereka telah berperan aktif di organisasi difabel yang lain, contohnya di Pertuni. Namun di organisasi sebelumnya, identitas sebagai individu yang memiliki hambatan penglihatan belum begitu mengikat mereka secara emosional. Pemaknaan yang berkembang dari interaksi para individu Albino ini tidak hanya mengerucut pada kesamaan bentuk fisik yang tampak, tapi juga hambatan ganda yang mereka hadapi.

Berbicara tentang gerakan sosial tidak dapat dilepaskan dari pendapat Gidden yang menganggap gerakan sosial itu sebagai salah satu tindakan kolektif untuk meraih kepentingan bersama melalui aksi kolektif di luar lingkup kelembagaan mapan. AIF sendiri bersama identitas kolektif dan eksistentsinya sebagai organisasi difabel telah menjadi bagian dari gerakan sosial di masyarakat. Hal ini tampak dari rencana aksi mereka yang coba memusatkan pada upaya-upaya agar Albino menjadi salah satu entitas di ragam difabilitas dimana itu mendapatkan perlindungan hukum yang jelas, baik melalui regulasi maupun kebijakan-kebijakan. Sebagaimana Mike Oliver maksudkan, bahwa gerakan yang tengah dibangun oleh para aktivis difabel berangkat dari pola pikir yang sama, yakni untuk membangun ideologi masyarakat tentang kelompok disabilitas yang juga merupakan bagian dari masyarakat (Oliver, 1997, pp. 245-246).

Interaksi yang terjadi terus menerus melalui media sosial, dalam kasus AIF ini melalui saluran Facebook, telah melahirkan satu aksi gerakan kolektif (movement collective action) dari individu-individu Albino di berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Mereka kemudian membentuk organisasi karena kesamaan identitas yang melekat dan hambatan yang serupa di masyarakat. Bagi Hunt dan Benford, orientasi identitas itu secara tidak langsung berkaitan dengan identitas kolektif (collective identity), solidaritas (solidarity), dan komitmen (commitmen), dimana aksi gerakan kolektif muncul dari identitas kolektif (Hunt & Benford, 2004, hal. 437).

Langkah yang diambil oleh AIF sebagai organisasi difabel ‘spesifik’ ini sekaligus mematahkan teori mobilisasi sumber daya dimana mengumpulkan anggota sebanyak-banyaknya di dalam organisasi akan mengantarkan kelompok pada pemusatan sumber daya di dalam mendorong gerakan sosial. AIF lebih menggunakan identitas Albinisme sebagai pendekatan untuk mendorong gerakan mereka. Singh menyebut model seperti ini sebagai teori gerakan sosial berorientasi identitas, dimana teori ini berangkat dari kritiknya terhadap teori mobilisasi sumber daya (the resource mobilization). Jika teori mobilisasi sumber daya menekankan pada aspek rasionalitas dan materialitas, teori orientasi identitas ini menekankan non-materialistis dan ekspresi sehingga menolak usaha dalam tesis materialism serta konsepsi dalam menjelaskan aksi kolektif dan gerakan sosial. Orientasi identitas lebih menekankan pada menelisik dan membahas pertanyaan mengenai solidaritas dan integrasi dari kelompok yang terlibat dalam aksi kolektif maupun gerakan sosial yang dijalankan.

Kesimpulan

Memberikan akomodasi layak dalam konteks pembelajaran dimana keberagaman difabilitas hadir bersama dalam wadah inklusifitas, bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi bukan pula sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan.

Belajar dari dua kali pelatihan advokasi yang dilaksanakan SIGAB Indonesia melalui Program GOOD, proses mengenal satu sama lain keberagaman peserta untuk mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dapat dilakukan melalui dua tingkatan. Pertama, pengenalan di tingkat individu. Ini dapat dilihat dari proses pelatihan sebelumnya di Region Barat ketika program harus berhadapan dengan difabel ganda yang membutuhkan akomodasi berlapis di pembelajaran. Kedua, pengenalan di tingkat kelompok atau di organisasi difabel secara holistik. Pada bagian ini tidak hanya berkaitan pada proses identifikasi hambatan dan kebutuhan dalam pembelajaran, tapi lebih jauh dari itu dimana gagasan yang muncul dari AIF, itu tidak lepas dari latar belakang ideoologisnya. Misalnya pada rencana tindak lanjut yang mereka rumuskan, itu cukup berbeda dari organisasi mitra yang lain karena difokuskan pada advokasi kelompok Albino sebagai entitas khusus di ragam difabilitas. Hal ini penting bagi AIF karena orientasi gerakan sosial yang mereka bangun melalui organisasi dilandaskan pada identitas kolektif mereka sebagai individu albinisme.

Pada pelatihan Advokasi Berbasis GEDSI di Bali ini juga  ditemukan bahwa komunikasi dalam ruang pelatihan saja tidak akan cukup untuk mendapatkan informasi terkait hambatan-hambatan di masing-masing ragam difabilitas. Oleh karena itu, perlu memaksimalkan proses informal di luar forum untuk menggali lebih jauh kebutuhan dalam menyajikan akomodasi layak di pembelajaran organisasi difabel, khususnya di ragam difabel yang tak tampak, difabel ganda dan difabel yang kurang mendapat perhatian karena masih jarang dibicarakan dalam ruang-ruang diskusi.[]


[1] ‘Walanda Sunda’ merupakan sebutan Albino dalam masyarakat setempat.

[2] Liputan ini dibuat dalam rangka peringatan Hari Kesadaran Albinisme Internasional yang dirayakan setiap tanggal 13 Juni tiap tahunnya. Hari tersebut ditetapkan setelah Dewan HAM PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan pencegahan tindak diskriminasi terhadap individu-individu Albino (Yudha Baskoro-jakartaglobe.id July 31, 2018).

[3] Dalam unit pewarisan sifat dari makhluk hidup, gen terdiri atas DNA yang diselubungi dan diikat oleh protein. Gen ini berada di dalam lokus-lokus pada kromosom. Susunan gen dalam tubuh disebut dengan genotipe, sementara ekspresi genotipe yang muncul pada makhluk hidup disebut dengan fenotipe. Fenotipe ini merupakan ekspresi dari genotipe yang memiliki sifat dominan, yaitu gen yang dapat mengalahkan genotipe resesif. Dalam kasus gangguan hipopigmentasi bawaan, ini merupakan genotipe resesif.

[4] Kromosom juga biasa ditemukan dalam keadaan berpasangan yang disebut sebagai kromosom homolog. Kromosom ini memiliki kesamaan dari bentuk, ukuran, maupun jumlah gen yang terkandung di dalamnya. Gen di dalam kromosom homolog juga berpasangan. Pasangan gen pada kromosom homolog disebut sebagai alel. Homozigot Dominan adalah alel yang memiliki pasangan gen yang dominan. Homozigot resesif adalah alel yang memiliki pasangan gen yang resesif. Sementara itu, alel dengan sifat heterozigot memiliki satu gen dominan dan satu gen resesif di dalamnya.

[5] Nistagmus sendiri merupakan gangguan yang membuat bola mata bergerak secara cepat dan berulang tanpa disengaja atau tidak dapat dikontrol.

[6] KAI sudah cukup lama ada, kepengurusan sederhananya baru terbentuk pada Desember 2016 lalu di Jakarta. Sebelumnya mereka pernah menggelar dua kali pertemuan komunitas di Sagoo Botani Square, Bogor pada Juli 2016 dan di Haus Coffee, Tangerang, pada September 2016. Dalam arsip dan dokumentasi mereka tercatat bahwa anggota KAI telah mecapai 32 orang. Para pendirinya seperti Erik Fitriadi, Arif Akhmad Aliandi, Trio Romadona, Ari Permana Putra, Nisrina Rahmatul Husna, dan Aphandic Duvadilan Zeusthike. (Utomo Priyambodo-11 Mei 2017 di laman Kumparan.com)