Search

+62-274-284 0056

Search
Close this search box.

Aktivitas Sigab

Share halaman ini ke:

Membuka Ulang Konsep Akomodasi Layak Dan Partisipasi Bermakna.

Refleksi pelaksanaan pelatihan pengembangan kapasitas keorganisasian bagi Mitra Program GOOD

Kontributor Program GOOD: Agung Prabowo

 

Pagi itu, satu persatu peserta mulai berdatangan. Beberapa diantaranya hadir bersama pendamping masing-masing. Mereka mulai membentuk barisan seperti kereta di meja registrasi. Barisan memanjang tepat di bagian depan pintu masuk Ruang Kinasih, Aston Hotel Solo.

Tim Program telah melakukan persiapan sehari sebelumnya. Mereka memastikan tempat, perangkat dan seluruh kebutuhan pelatihan tersedia selama pelatihan. Ini merupakan pelatihan perdana yang Program laksanakan bersama 16 mitranya yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Diinisiasi oleh SIGAB Indonesia sejak November 2022 atas dukungan CBM Global, Program Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel—GOOD merupakan salah satu program yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas, suara, jaringan, dan keberlanjutan organisasi difabel di Indonesia.

Di perencanaan semula, GOOD membagi masing-masing tema pembelajaran ke dalam tiga waktu pelaksanaan pelatihan berbeda berdasarkan pembagian region yakni Region Barat, Timur dan Tengah. Namun perjalanannya, pembagian waktu diubah ke dalam dua bagian saja. Pelatihan pertama untuk organisasi mitra program di Region Barat dengan 8 organisasi dan pelatihan berikutnya untuk organisasi mitra program di Region Timur dan Tengah dengan 8 organisasi.

Pelatihan pengembangan kapasitas organisasi difabel mitra ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas organisasi dan portofilio kelembagaan untuk memastikan kerberlanjutan organisasi difabel yang menjadi mitra. Program memfokuskan pelatihan pada 4 bentuk kapasitas, diantaranya yakni perspektif difabilitas berbasis HAM; pemahaman sistem dan kerangka hukum difabilitas; manajemen keuangan, keberlanjutan organisasi dan manajemen proyek; dan kepemimpinan dan manajemen organisasi.

Pelatihan dilaksanakan selama lima hari, dimana pada hari kelima, peserta merumuskan rekomendasi dan menyusun Rencana Tindak Lanjut masing-masing dengan mengacu pada catatan hasil diskusi maupun bahan-bahan pendukung pembelajaran yang didapatkan selama pelatihan berlangsung. Dilaksanakan sejak tanggal 21 hingga 25 Agustus 2023 lalu, pelatihan ini difasilitasi oleh lima orang ahli seperti Kristiana Tjitrohardjo dan Lamhot Sinaga dari YAKKUM Yogyakarta, sedangkan 3 orang lainnya Panel Ahli program yakni Cucu Saidah, Antoni Tsaputra dan Joni Yulianto.

Setelah dibuka oleh Adrian Brahma, selaku Direktur CBM Indonesia yang menjadi perwakilan CBM Global, fasilitator secara bergantian menjalankan tugas mereka. Di hari terakhir peserta juga mendapat materi terkait mekanisme keuangan program dan kebijakan Safeguarding yang sedang dibangun oleh SIGAB bersama Program GOOD.

Ragam Kesan Peserta Pelatihan

Lima hari pelaksanaan pelatihan pengembangan kapasitas organisasi telah meninggalkan ragam kesan, baik di pelaksana maupun di peserta. Dari sini, menarik untuk menyimak kesan yang didapatkan dari dua peserta perempuan yang berasal dari PELITA Indonesia, Alice dan Christiana. Walaupun keduanya memiliki kedifabelan ganda (pendengaran dan penglihatan) yang sama, namun kesan yang didapatkan keduanya cukup beragam dan menarik untuk dipelajari.

Di Christiana misalnya, dia merasakan kecermatan pelaksana pelatihan dalam menyiapkan materi. Selain itu, dia juga menilai pelaksana sudah memiliki ketepatan dalam pemilihan kata-kata, kesiapan di tiap sesi, pemahaman yang baik untuk mengakomodasi perbedaan kebutuhan, serta mengkombinasikan perlengkapan pembelajaran dan materi berdasar kebutuhan peserta.

“Karena untuk mempersiapkan secara rinci dari setiap bagian yang tidak kalah penting, menjadi penentu dan memberikan dampak dalam penyerapan materi yang diberikan oleh narasumber pada training di Agustus lalu. Menurut saya cukup menarik dan juga memadai”, kata Chritiana ketika ditanyakan kesannya terahadap pelatihan.

Sedikit berbeda, Alice merasakan pelatihan lima hari yang dia lalui terlalu padat. Namun seperti itu, dia menyadari setelah mengikuti seluruh rangkaian pelatihan, dia mampu mendalami materi yang diberikan dan mendapatkan informasi baru yang sebelumnya belum pernah dia dapatkan.

“Pelatihan ini merupakan kali pertama saya dalam mengikuti pelatihan yang intensif dan interaktif. Acaranya seru walau padat sekali materinya. Saya suka dengan materi-materi yang diberikan karena masih banyak hal-hal yang tidak saya ketahui atau kurang dalam pengetahuannya”, cerita Alice.

Dari pelatihan ini juga, peserta belajar untuk saling memahami hambatan peserta lain di dalam konteks komunikasi dan daya tangkap terhadap informasi yang berbeda-beda. Misalnya ketika peserta dengan difabilitas motorik menyampaikan pendapatnya di forum, dimana pelafalan verbalnya kurang jelas. Alice mengaku kesulitan untuk mengikuti walaupun sudah menggunakan alat bantu dengar. Namun seperti itu, dirinya justru menjadi lebih aware untuk berusaha memahami informasi yang disampaikan peserta lain dengan ragam difabel yang berbeda-beda.

Christiana melanjutkan kesan yang dia dapatkan selama kegiatan berlangsung. Dari pelatihan yang dilalui, dia menyadari adanya kesulitan yang dialami pelaksana pelatihan untuk mengkombinasikan ragam metode pelatihan maupun mengakomodasi ragam difabilitas peserta. Bagaimana bisa memberi kesepahaman yang adil dan merata di semua peserta pada satu materi tertentu di satu sesi yang sama. Dia juga menggarisbawahi upaya yang dilakukan perangkat pelatihan untuk mencairkan detik-detik terberat peserta ketika mengikuti materi, yakni saat jam tidur siang.

Baik Christiana maupun Alice, keduanya sama-sama menyadari pentingnya bagi peserta untuk menguasai kapasitas public speaking yang aksesibel dan mudah untuk dipahami oleh seluruh peserta. Pelajaran baik yang program petik dari keduanya adalah, mereka tidak hanya berharap orang lain untuk memahami hambatan mereka dalam memahami. Sebaliknya, mereka juga berupaya agar dapat memiliki kemampuan untuk memahami apa yang orang lain sampaikan dan berbicara seaksesibel mungkin di muka umum agar lebih mudah dipahami.

Di sela-sela hari pelatihan, para peserta juga menyempatkan untuk menjelajahi sudut-sudut Kota Surakarta. Demikian halnya Alice dan Christiana. Keduanya membagikan pengalaman berkunjung ke Pasar Gede untuk membeli oleh-oleh sekaligus menjajal aksesibilitas fasilitas publik tersebut. Bagi Alice, masih banyak hal yang perlu dibenahi oleh pengelola pasar karena aksesibilitasnya masih kurang. Pendamping mereka saat itu kewalahan untuk menggandeng tangan mereka karena lorong pasar yang sempit. Mereka harus berdesakan dengan para pangunjung lain sembari membawa belanjaan di tangan. Penerangan yang minim memperparah kondisi mereka yang tidak dapat melihat di sekitar. Sementara di bagian lantai, mereka kerap kali tersandung pada undakan-undakan yang dilewati. Tentu ini catatan lain dari mereka yang ditujukan kepada Pemerintah Solo agar dapat membenahi aksesibilitas fasilitas publiknya.

Belajar Dari Difabel Tuli-buta

Dua pekan berselang, Tim Program GOOD menghubungi kembali dua orang peserta pelatihan dari PELITA dengan maksud untuk merefleksikan proses pelatihan pada Agustus lalu di Solo. Setelah mendapat kesediaan waktu, Alice dan Christiana bersedia untuk diwawancarai melalui WhatsApp menggunakan pesan teks. Dari proses ini program mendapatkan cukup banyak informasi penting, mulai dari pengalaman pribadi hingga pembelajaran keduanya selama bergabung dengan PELITA. Harapannya, dari proses ini program dapat melengkapi refleksi pelatihan terkait proses pembelajaran aksesibel, akomodatif dan partisipatif bagi semua ragam difabel.

Alice saat ini genap berusia 26 tahun. Dia membagikan ceritanya kepada Tim Program, pengalamannya semasa mengikuti pendidikan formal di Jakarta. Pertama kali masuk Sekolah Dasar, dia sempat merasa asing karena menjadi satu-satunya siswa yang menggunakan Alat Bantu Dengar—ABD di antara para siswa non-difabel. Orangtuanya mengharuskan dirinya masuk ke sekolah umum, bagaimana pun caranya. Setelah mendapatkan penolakan di beberapa sekolah, pada akhirnya ada sekolah yang mau menerima kedifabelannya. Lokasi sekolah itu tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Sebagai difabel Tuli, guru-guru Sekolah Dasar pada waktu itu menempatkannya di kursi paling depan. Sekolah melakukan ini agar dia bisa meggunakan ABD secara maksimal. Di saat yang sama, guru juga menerapkan metode ajar interaktif dengan bergerak mendekati satu persatu siswa lain untuk memancing partisipasi siswa.

Hal yang kurang diperhitungkan oleh guru saat itu, mereka menganggap ABD yang Alice gunakan sudah cukup baik untuk menangkap informasi yang diberikan di kelas. Padahal dia masih butuh untuk membaca bibir ketika guru mengajar untuk memperjelas informasi yang dia tangkap melalui ABD. Strategi mengajar guru yang berpindah-pindah tempat ini justru menyulitkan Alice ketika akan membaca bibir karena pada waktu tertentu keduanya berada pada posisi saling membelakangi.

Alat bantu pada konteks kebutuhan Alice, belum cukup untuk mengakomodasi dirinya dalam menyerap pembelajaran di kelas. Selain ABD, dia masih harus membaca gerak bibir dari lawan bicaranya.

“Bagian yang saya rasakan tidak inklusif yaitu pemahaman guru-guru yang menganggap dengan ABD saya bisa dengar tanpa lihat gerak bibir. Jadi ada beberapa guru yang kalau mengajar itu tidak diam di depan kelas tapi sambil jalan-jalan ke seluruh sudut kelas membuat saya sulit memahami apa yang dijelaskan”, keluh Alice.

Di lain hal, pembelajaran di sekolah umumnya menggunakan dinamika kelompok sebagai metode yang efektif untuk membangun kesepahaman di peserta didik. Tujuannya agar peserta bisa merasakan secara langsung dinamika saat berdiskusi. Dengan berkelompok juga peserta dapat melengkapi pembelajaran mereka dari informasi maupun pengalaman-pengalaman langsung dari peserta lain. Tapi bagi Alice, dinamika kelompok, khsusnya mengerjakan tugas secara berkelompok, justru memperparah situasi keterhambatannya di proses pembelajaran.

“Kalau kerja kelompok saya selalu kesulitan memahami apa yang sedang didiskusikan karena alur bicaranya cepat dan sulit lihat gerak bibir semua orang jadi saya banyakan diam”, Alice melanjutkan pengalamannya.

Bagi Alice, sekolah melalui guru-guru mereka sebenarnya telah berupaya keras untuk menciptakan lingkungan belajar yang akses buat dirinya, walaupun masih begitu banyak kendala yang dia rasakan. Dia mengapresiasi sekolah karena telah berupaya mengakomodasi dirinya dalam proses pembelajaran. Para guru juga tidak henti-hentinya berusaha memberi pemahaman kepada siswa lain tentang kondisi kedifabelannya.

Kondisi kedifabelan Alice semakin kompleks ketika masuk di bangku SMP. Secara bertahap fungsi penglihatannya terus berkurang walaupun sudah diupayakan untuk menggunakan kacamata. Dia bahkan harus harus mendekatkan wajahnya ke arah lawan bicara sedekat mungkin untuk dapat membaca gerakan bibir. Itu pun masih harus dibantu dengan pencahayaan dari senter hape yang diarahkan pada bibir.

Bagi guru yang belum mengenali jenis kedifabelan peserta didiknya, tentunya akan sulit untuk melakukan interaksi timbal balik. Apalagi untuk memberikan akomodasi layak dan aksesibel, ketidaktahuan terhadap ragam difabel kerap kali menjadi upaya itu tidak berhasil dilakukan. Di kasus Alice misalnya, karena ketidaktahuan guru terhadap ragam kedifabelan dan kebutuhan Alice, tidak jarang ada guru yang berbicara dengan nada tinggi dan berteriak sehingga sikap itu justru memperburuh interaksi keduanya. Padahal yang dia butuhkan adalah guru memperjelas gerakan bibir mereka dalam pengucapan (artikulasi) karena dengan berteriak sekeras apapun hanya akan membuat dirinya kurang nyaman.

Ketika kuliah di Jurusan Interior, Universitas Tarumanagara, Alice merasa terbantu dengan sikap dosen-dosen yang mau membantunya menjelaskan kembali materi perkuliahan yang diberikan dan memastikan dirinya menyerap informasi dengan baik. Walaupun secara keseluruhan, kampus ini dia nilai masih belum akses untuk kelompok difabel, baik desain fisik lingkungan maupun metode pembelajaran.

Dari pengalaman Alice mengikuti pendidikan formal, dari Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, tampak bagaimana kompleksitas masalah yang dihadapi Alice dengan kedifabelan yang menyertainya. Hampir di semua tingkatan pendidikan selalu ada niat baik dan upaya menciptakan ruang belajar yang aksesibel, akomodatif dan partisipatif bagi difabel. Hanya saja, karena masih kurangnya pengetahuan sekolah maupun lembaga pendidikan tentang keberagaman kebutuhan difabel sehingga upaya-upaya yang ditempuh kerap menemukan jalan buntu.

Interseksionalitas Dan Bayang-Bayang Diskriminasi

Dewasa ini, aksesibilitas, invisible difabel dan interseksionalitas kerap mengisi forum-forum diskusi, sosialisasi, rapat kerja, konsolidasi hingga seminar-seminar akademik. Hanya saja, untuk dua konsep terakhir, invisibel divabel dan interseksionalitas, masih kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan aksesibilitas. Namun seperti itu, bukan berarti keduanya tidak begitu penting untuk ditelisik lebih jauh mengingat tindakan diskriminatif, baik yang dilakukan secara individu maupun terstruktur, tidak jarang berawal dari ketidaktahuan dan kurang mendapatkan ruang untuk didiskusikan.

Interseksionalitas sendiri merupakan sebuah pendekatan yang mengakui bahwa identitas seseorang tidak hanya merujuk pada satu aspek saja, seperti disabilitas, namun juga oleh faktor-faktor lain seperti kelompok usia, ras, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya. Dalam konteks difabilitas, pendekatan ini mengakui individu dengan difabilitas berpotensi lebih besar berhadapan dengan ragam hambatan karena faktor-faktor tersebut, dan solusi yang efektif yakni perlu mempertimbangkan kerentanan serta kebutuhan yang berbeda-beda (Ben-Moshe dan Magana, 2014).

Jika coba ditarik dalam konteks pelatihan, invisible difabel maupun difabel ganda memiliki hambatan yang jauh lebih banyak untuk bisa pada posisi setara di dalam pembelajaran. Akomodasi layak untuk mendapatkan partisipasi bermakna tidak cukup hanya dengan menyediakan ruang belajar yang akses berikut fasilitas pendamping dan alat belajar yang menujang. Lebih jauh dari itu, desain pelatihan perlu memperhitungkan kurikulum yang dibangun berdasarkan kebutuhan dari ragam kedifabelan. Kurikulum yang dimaksud di sini meliputi durasi, metode hingga etika forum.

Belajar dari peserta pelatihan dari PELITA Indonesia, desain pelatihan yang sejak awal kurang memperhitungkan kebutuhan peserta dengan kedifabelan ganda mengharuskan perangkat pelatihan melakukan sejumlah penyesuaian di bahan ajar maupun durasi tiap sesi yang mengharapkan keterlibatan langsung seluruh peserta. Misalnya pada bahan ajar yang akan dibagikan pada sesi mendiskusikan studi kasus, peserta dari PELITA membutuhkan ukuran font lebih besar yakni minimal ukuran 24. Sedangkan pada durasi, mereka membutuhkan waktu yang lebih panjang karena tahapan komunikasi yang panjang antara peserta, pendamping dan typist yang membantu proses pembelajaran.

Etika forum lebih pada upaya saling memahami kebutuhan di antara perserta yang berbeda-beda, khususnya untuk memahami mereka yang memiliki kedifabelan ganda. Misalnya apa yang disampaikan oleh Christiana dimana dirinya berusaha untuk memami kalimat yang disampaikan peserta lain—yang kerap kali informasi itu tidak begitu jelas karena diucapkan terlalu cepat. Dia menyadari bahwa dirinya tidak dapat menyerap informasi dari pelafalan kalimat yang cepat dari peserta lain. Namun seperti itu, dia tetap berusaha memahami kondisi kedifabelan peserta lain, misalnya peserta dengan difabel cerebral palsy, yang mengalami hambatan berkomunikasi secara jelas secara verbal.

Di salah satu sesi yang difasilitasi Antoni, berbagi pengalaman diskriminasi yang disampaikan Alice cukup menarik perhatian forum. Dia menceritakan pengalaman diskriminasi yang dia dapatkan bersama orangtuanya ketika masih anak-anak. Saat itu seorang kawan baik Ayahnya merekomendasikan salah satu rumah makan ternama di Kabupaten Garut yang katanya punya cita rasa cukup baik. Mereka pun memutuskan untuk mencoba makanan yang direkomendasikan. Setiba di sana, mereka menempati salah satu sudut dan bersiap memesan makanan. Tidak lama berselang, pemilik rumah makan keluar untuk menghampiri meja mereka dan menyampaikan kalau mereka tidak bisa makan di tempat itu.

“Alasan detailnya tidak dijelaskan. Orangtua saya marah dan kecewa, kalau saya tidak salah ingat, Papa saya bilang, kalian tidak akan maju kalau jualan tapi rasis. Orang tua saya tidak mau memperpanjang masalah jadi langsung pergi setelah itu.”, Alice menceritakan.

Awalnnya orangtua Alice bingung. Lalu si pemilik rumah makan menyampaikan alasannya bahwa dia tidak menerima pelanggan beretnis Tionghoa. Mengingat kembali masa itu, Alice sempat berfikir. Mungkin saja pemilik rumah makan pernah memiliki pengalaman buruk dengan orang beretnis Tionghoa atau memang sejak awal sudah punya stigma negatif di dalam dirinya.

Dari cerita Alice, Antoni coba menarik pengalaman itu ke konteks diskriminasi yang berpotensi terjadi pada individu yang identitasnya dibentuk oleh ragam faktor. Bahkan potensi itu jauh lebih besar pada kelompok difabel ganda. Menurutnya, dengan menggunakan pendekatan interseksionalitas maka kerentanan dan potensi mendapatkan diskriminasi akibat ragam faktor yang membentuk identitas seseorang akan segera terbaca.

Alice sebagai kelompok minoritas Tionghoa, dia juga memiliki kedifabelan ganda yakni Tuli dan Netra. Belum lagi jika melihat aspek lain bahwa dia adalah seorang perempuan, maka semakin tinggi lah kerentanan yang dimiliki. Bagi Antoni, inilah pentingnya menggunakan pendekatan interseksionalitas di dalam melakukan analisis kerentanan terhadap kelompok-kelompok marjinal dalam konteks diskriminasi dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Akomodasi Layak dan Partisipasi Bermakna Bukan Sekadar Jargon!

Bagi SIGAB selaku implementor Program GOOD, mendampingi organisasi difabel dengan kedifabitasan ganda merupakan hal baru. Walaupun sebelumnya sudah ada interaksi dengan kelompok difabel ganda, tapi hal itu terjadi dalam konteks personal. Sedangkan di konteks program, SIGAB merasa masih perlu belajar lebih dalam bersama Mitra Programnya, khususnya dengan PELITA.

Sepekan sebelum pelatihan dilaksanakan, Tim Program telah mengirimkan lembar angket untuk menilai kebutuhan seluruh peserta yang akan mengikuti pelatihan. Tapi langkah itu tentunya masih perlu diperkuat dengan penilaian yang lebih dalam dengan mempelajari lingkungan dan budaya organisasi yang berjalan di masing-masing organisasi. Pelatihan pada Agustus 2023 lalu tidak hanya menjadi kesempatan awal bagi SIGAB untuk berinteraksi langsung dengan PELITA secara intensif, tapi dapat menjadi media belajar bersama bagi pemangku kepentingan di Program GOOD untuk menggali lebih dalam strategi PELITA secara keorganisasian mengakomodasi anggotanya.

Pada bagian ini, Christiana dan Alice kembali membagikan cerita mereka ketika pertama kali mengenal PELITA, berinteraksi dan akhirnya dipercaya untuk memegang posisi sebagai pengurus organisasi hingga sekarang. Keduanya juga secara terbuka menjelaskan bagaiman budaya organisasi yang berlangsung di organisasi mereka, khususnya upaya organisasi ini untuk memberikan akomodasi layak bagi semua individu di dalamnya. PELITA merupakan akronim dari Pemberdayaan Tuli Buta telah berdiri sejak 2019 dengan Candra Gunawan sebagai Pembina. Organisasi ini fokus pada ragam difabilitas Tuli total dan lemah penglihatan, Tuli total dan netra total, lemah pendengaran dan netra total, serta lemah pendengaran dan lemah penglihatan.

Menurut Chritiana, PELITA menyediakan akomodasi layak dengan penyesuaian pada ragam kedifabilitasannya. Akomodasi ini bukan hanya diberikan organisasi pada saat pelatihan, tapi juga pada saat anggotanya melakukan diskusi, rapat-rapat dan kegiatan lain di internal organisasi.

Pertama, individu Tuli total dan lemah penglihatan. Individu akan mendapatkan akomodasi juru ketik yang menyajikan informasi berupa taks dan ditampilkan melalui slide OHP. Untuk ukuran huruf paling tidak 24 berwarna putih. Huruf ditulis dalam bentuk kapital semua dan berlatar warna hitam. Kategori ini masih membutuhkan seorang pendamping lagi yang membantu menjelaskan informasi secara verbal. Biasanya difabel ragam ini memiliki kemampuan membaca gerak bibir dalam jarak yang sangt dekat dan bantuan cahaya yang diarahkan ke mulut lawan bicara. Kedua, individu dengan kondisi Tuli total dan netra total. Untuk kategori disabilitas ini juga membutuhkan akomodasi berupa juru ketik menghasilkan informasi dalam berntuk teks pada layar dan Braille pada rail display board. Untuk kategori ini, pendamping harus menguasai bahasa isyarat sentuh pada tangan untuk memberikan gambaran tentang konteks informasi dan situasu yang terjadi di sekeliling. Ketiga, individu  yang memiliki sisa pendengaran dan netra total. Kategori ini akan mendapat akomodasi berupa juru ketik yang membuat teks secara verbatim pada rail display. Pendamping lain akan memberikan gambaran atau menjelaskan informasi secara verbatim dengan artikulasi jelas, suara yang tegas dan intonasi yang tepat. Keempat, individu lemah pendengaran dan lemah penglihatan. Akomodasi yang dibutuhkan individu ini merupakan kombinasi informasi berupa teks putih pada layar berlatar hitam dan kebutuhan pendamping yang mendeskripsikan keadaan serta informasi yang disampaikan oleh orang lain. Keberadaan pendamping untuk individu ini penting untuk mempercepat dan menjaga ketepatan respon mereka.

“Kebutuhan yang beragam dari empat kategori ini akan terlebih dahulu dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang akan berkomunikasi atau bekerja bersama dengan teman-teman Tuli-buta agar lebih terarah, memiliki persepsi dan pandangan yang ingin disampaikan satu sama lain”, Christiana menjelaskan.

Jadi, paling tidak ada dua bentuk akomodasi penting untuk bisa membuat peserta Tuli-buta secara aktif terlibat di dalam sebuah forum yakni pendamping. Pendamping dalam konteks ini bukan hanya juru ketik yang memiliki kemampuan menangkap informasi yang kompleks dan menyajikan kembali informasi dalam bentuk teks sederhana ataupun juru bahasa isyarat sentuh, tapi pendamping yang sudah terbiasa dan paham kebiasaan kebutuhan maupun gaya komunikasi Tuli-buta yang didampingi sehingga dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk sampai pada kondisi tersebut. Itulah yang menjadi alasan kenapa PELITA menolak jika harus mengganti pendamping yang sudah mereka tetapkan sebagai pendamping, dengan pendamping lain. Pilihan untuk mengganti pendamping merupakan pilihan sulit karena diperlukan waktu untuk saling mengenal dan pembiasaan.

Di PELITA sendiri, penggunaan juru bahasa isyarat sentuh belum umum digunakan, terutama di anggota yang mengalami netra terlebih dahulu. Namun seperti itu, di beberapa kesempatan saat pelatihan, Chandra meminta pendampingnya untuk menuliskan informasi di telapak tangannya. Misalnya ketika berkenalan, dia meminta lawan bicaranya untuk menuliskan satu persatu huruf yang membertuk nama lawan perkenalannya dengan huruf kapital. Huruf digores menggunakan jari di atas telapak tangannya dengan satu tarikan. Sama halnya ketika sesama Tuli-buta ketika menggunakan isyarat sentuh untuk meminta kesempatan menyampaikan pesan, mereka secara bergantian saling membalikkan tanggan. Mereka yang memiliki kesempatan menyampaikan pesan yakni tangan yang berada di atas, demikian seterusnya.

Komunikasi dua arah di teman-teman Tuli-buta dapat terjadi bergantung pada kemampuan individu masing-masing karena keberagaman hambatan yang dimiliki. Tidak jarang ada dari mereka yang kurang memiliki kemampuan verbal yang baik sehingga masih membutuhkan pendamping yang dapat menjelaskan kembali apa yang mereka sampaikan.

**

Faktanya, menilai kebutuhan peserta dalam sebuah pelatihan untuk mewujudkan akomodasi yang layak tidak semudah dibayangkan. Masih perlu adanya upaya lebih giat dari pelaksana dalam menggali informasi di peserta. Tidak hanya itu, menjadi penting pula bagi program untuk lebih banyak belajar dari organisasi difabel yang menjadi ruang hidup peserta dalam melakukan interaksi sosial. Coba mendalami bagaimana budaya organisasi itu berlangsung dan menjadi ruang hidup bagi individu-individu difabel di dalamnya. Langkah ini perlu menjadi perhatian bagi pemangku kepentingan program agar dapat menjadi rujukan bagi pemutakhiran konsep pengembangan kapasitas yang program upayakan kedepan.