“Sigab, bertahun-tahun lembaga ini mengadvokasi difabel berhadapan dengan hukum. Kerja-kerja telah dilakukan, berbagai perubahan telah nyata terlihat.”
Lima tahun sudah Sipora Purwanti terlibat dalam advokasi terhadap difabel yang berhadapan dengan hukum. Aktivitasnya ini dia mulai jalani ketika bergabung dengan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB). Purwanti menuturkan tak mudah membantu difabel ketika harus berhadapan dengan kasus hukum. “Tapi ini pengalaman menarik dan asyik untuk didalami,” kata Purwanti pada kisaran April 2018 di Kantor Sigab.
Perempuan berkursi roda ini bercerita, pengalamannya berawal ketika seorang Tuli diperkosa gurunya pada 2012 lalu. Waktu itu SIGAB belum memiliki unit bantuan hukum. Purwanti yang telah menjadi pendamping untuk para difabel mengusulkan untuk membantu proses hukum korban pemerkosaan ini. Purwanti mengklaim, tindakannya termasuk luar biasa sebab tak banyak lembaga yang berani mendampingi difabel. “Menyentuh sektor hukum saja belum berani,” kata Purwanti.
Purwanti ingin membuktikan, kaum difabel bukan kelompok yang tidak cakap hukum. Pengalaman itu menyadarkan Purwanti, ada banyak pekerjaan rumah untuk
mewujudkan keadilan hukum bagi difabel. Sebelum Sigab memiliki unit bantuan Hukum, memang belum ada satu lembaga pun yang berani melakukan advokasi terhadap difabel. Kala itu, fokus kegiatan SIGAB adalah pendidikan politik seperti bagaimana difabel dapat memilih pada pemilu.
Pada awalnya, SIGAB tak memiliki model dan metode untuk mendampingi difabel. Mereka menggelar berbagai macam diskusi di beberapa daerah seperti Bantul, Gunung Kidul, Sukoharjo, dan Kulon Progo. Purwanti pun memulai upaya ini dengan melakukan riset mengenai kasus-kasus difabel, mencari akar masalah, hingga mempelajari modus kejahatan termasuk membangun jaringan dengan lembaga lain. Dia pun berkesimpulan, SIGAB mesti memiliki sebuah unit bantuan hukum.
Dari diskusi awal itu, Purwanti menyimpulkan, ada beberapa kendala yang dihadapi difabel ketika berhadapan dengan hukum. Misalnya, pengetahuan tentang hukum acara, stigma, dan diskriminasi. Ini belum termasuk soal akses terhadap bantuan hukum, kecakapan menangani persoalan hukum dan memahami prosedur hukum.
Persoalan lain adalah pemahaman aparat. Purwanti mengatakan, banyak petugas tak paham bagaimana berinteraksi dan mengakomodasi kepentingan difabel. Saat berhadapan dengan difabel netra, tuli, atau difabel mental intelektual, aparat hukum sering merasa kebingungan. Purwanti bercerita, pernah pada satu kasus kesaksian seorang difabel tak diakui di pengadilan.
Unit bantuan hukum ini menjadi penting karena mendudukkan difabel sebagai subjek hukum. Purwanti ingin mengubah soal persepsi kalangan difabel tentang ranah hukum yang menyeramkan, kaku, dan berbelit-belit. Dia juga ingin membangun keberanian di antara kalangan difabel agar berani berhadapan dengan hukum.
Purwanti ingin, unit ini bisa membantu difabel untuk mendapatkan akses peradilan yang berkeadilan. Unit ini setidaknya telah dimanfaatkan oleh difabel di berbagai daerah. Pada 2015 hingga 2018, SIGAB telah mendampingi 37 difabel dan sudah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap.
“Sejak kerap berhadapan dengan SIGAB, aparat penegak hukum juga mulai akomodatif terhadap kebutuhan difabel. Misalnya, pengaturan ruang sidang agar tidak menimbulkan trauma pada difabel mental intelaktual atau sidang jarak jauh jika difabel tidak bisa datang langsung ke tempat sidang” cerita Purwanti.
Purwanti bercerita, Pengadilan Negeri Gunung Kidul juga menyediakan ramp atau bidang miring untuk pengguna kursi roda. Mereka juga menyediakan guiding block atau jalur pemandu bagi difabel netra, dan toilet untuk pengguna kursi roda. Mereka juga mendorong Mahkamah Agung menyelenggarakan pelatihan untuk hakim bagaimana menyidangkan difabel. “Pelatihannya pada 2016 saat MA mempersoalkan difabel cakap hukum,” kata Purwanti.
Menurut Purwanti, SIGAB juga berhasil mendorong MA membuat Surat Edaran agar pengadilan memudahkan akses kepada difabel sebagai salah satu syarat akreditasi lembaga peradilan. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Standar Aksesibilitas bagi difabel pada bangunan publik.
Perjuangan ini bersandar pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 36 ayat (1) menyatakan, lembaga penegak hukum wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Purwanti menuturkan, SIGAB sedang mengadvokasi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Akomodasi Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan.
Namun cerita advokasi tak melulu soal keberhasilan. Pernah pada suatu kali dia mengadvokasi korban perkosaan. Keluarga korban menolak membawa kasus ini ke ranah hukum. Alasannya, kasus perkosaan sama saja membuka aib di depan banyak orang sehingga keluarga memilih berdamai dengan pelaku. “Kami tidak bisa berbuat lebih, kami menghargai keputusan itu,” pungkas Purwanti. [Ajiwan Arief]