Search

+62-274-284 0056

Search
Close this search box.

Berita Sigab

Share halaman ini ke:

Bersama Formasi Disabilitas dan Yakkum, Sigab Indonesia Terlibat Aktif dalam Aksi Kolektif Diseminasi Hasil Survei Persepsi Pemilih Difabel dalam Pemilu 2024

Sigab.org – berkolaborasi dengan Formasi Disabilitas, dan Pusat Rehabilitasi Yakkum, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel selenggarakan Diseminasi Hasil Survei Persepsi Pemilih Difabel dalam Pemilu 2024. Kegiatan berlangsung pada kamis, 18 Januari 2024 di Hotel Tara Yogyakarta.

Kegiatan tersebut menghadirkan sejumlah pihak dan stakeholder seperti  Direktur PKPM Bappenas  Tirta Sutedja, S.T., MWRM, Head of Operation and Grants – INKLUSI Krisdeny Mahajaya, Direktur SIGAB Indonesia, Joni Yulianto, M.A., MPA., Ketua Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas  Nur Syarif Ramadhan, Direktur Pusat Rehabilitasi Yakkum, KPU RI             Mohammad Afifuddin  BAWASLU RI  R. Sudewo Alif,  Pramono U Tanthowi,wakil ketua Komnasham, Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA)  Ariani Sukanwo, PSHK        Fajri Nur Syamsi

Serta menghadirkan peserta dari Perwakilan organisasi difabel, calon anggota legislatif pada pemilu 2024, Perwakilan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu kota dan Kabupaten di lingkungan DIY.

Survei ini diselenggarakan secara kolektif oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi YAKKUM (PRYAKKUM) dan FORMASI Disabilitas dengan dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia – Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif). Survei dilakukan secara daring dengan melibatkan sebanyak 479 responden difabel dari 31 Provinsi di Indoensia, dengan kurun waktu Desember 2023 – 2 Januari 2024.

Di tengah berbagai persiapan yang telah dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu, survei ini mencoba memotret gambaran kesiapan pemilih difabel untuk turut menggunakan hak pilih mereka. Di balik berbagai upaya yang telah dilakukan, temuan survei menggambarkan betapa masih banyak ruang perbaikan yang perlu diupayakan, baik untuk Pemilu yang akan segera berlangsung di 14 Februari 2024, maupun untuk penyelenggaraan Pemilu selanjutnya.

Joni Yulianto, selaku direktur SIGAB Indonesia, sekaligus mewakili aksi kolektif survei ini menjelaskan survei tersebut bukan hanya tentang angka, tapi juga membawa fakta-fakta mengenai situasi pemilih difabel dalam Pemilu 2024. Menurutnya, meski isu hak politik bagi difabel menjadi menjadi semakin menguat. Namun, permasalahan yang muncul masih jauh lebih banyak.

“Jadi, kalau kita dalam survei ini membingkai bagaimana kesiapan difabel, mestinya dibalik, bagaimana Negara memastikan hak pilih difabel,” tutur Joni. Selain itu, Joni berharap, hasil temuan survei menjadi perhatian bersama, terutama pihak terkait seperti penyelenggara Pemilu. Temuan-temuan survei menjadi keprihatinan yang perlu dijawab dalam beberapa hari kedepan mendekati Pelaksanaan pada 14 Februari 2024.

“Hasil survei ini berharap tidak hanya berhenti pada penyampaian rekomendasi, tapi juga tindak lanjut dan implementasi perbaikan penyelenggaraan Pemilu,” tutupnya.

Survei ini menemukan beberapa fakta bahwa Difabel yang tercapat sebagai pemilih kategori disabilitas, hanya sekitar (35,7%). Sementara, 44,9% pemilih difabel terdata sebagai bukan disabilitas. Sisanya 19,4% tidak mengetahui status mereka sebagai pemilih. Jika penyediaan aksesibilitas dan pemahaman KPPS terkait layanan yang aksesibel dan pendampingan bagi difabel didasarkan pada data tersebut, kemungkinan besar tidak banyak petugas di TPS yang mengetahui keberadaan pemilih difabel di TPS dimana mereka bertugas.

Survei ini dilakukan dengan metode snow balling dan mendapati sangat sedikit representasi responden dari panti atau pun balai/pusat rehabilitasi. Dari 479 responden, hanya 0,6% responden dari panti/balai rehabilitasi. Bagi Kami, ini adalah fenomena yang meresahkan. Di tengah upaya untuk mendorong panti dan balai rehabilitasi menjadi lebih menjunjung hak asasi manusia, institusi-institusi tersebut masih menjadi ruang kecil yang belum memastikan akses informasi dan edukasi yang adil bagi difabel. Kurangnya keterjangkauan informasi tersebut dapat menimbulkan banyak kemungkinan, seperti tidak terpenuhinya hak pilih difabel yang tinggal di panti, hingga kemungkinan obyek kecurangan.

Temuan survei menunjukkan tingginya tingkat kesadaran dan pemahaman difabel akan hak politik. 77% responden sangat memahami 6 hak difabel dalam pemungutan suara. Sementara itu, 95,5% menyatakan penting untuk membela dan memperjuangkan hak politik. Angka tersebut berbanding lurus dengan tingkat pendidikan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula pemahaman akan hak dan keberanian mereka membela dan memperjuangkan hak mereka. Dalam hal tingkat pendidikan, survei ini tidaklah menggambarkan figur sesungguhnya mengenai tingkat pendidikan difabel, dimana survei yang dilaksanakan berbasis internet hampir dipastikan menyasar mereka yang mempunyai tingkat pendidikan yang relatif baik. Dengan demikian, kesadaran dan literasi politik difabel secara umum dapat dikatakan masih rendah. Ditambah lagi dengan temuan dimana informasi terkait Pemilu masih sulit dipahami, dimana 25,3% menyampaikan sulitnya memahami bahasa yang rumit dalam berbagai informasi ke-Pemilu-an. Difabel intelektual (2,3%), difabel sensorik tuli (15,7%) dan difabel sensorik netra (11,7%) adalah di antara yang paling mengalami kesulitan dan tertinggal dalam mengakses informasi ke-Pemilu-an.

Sementara, 22,8% responden menyatakan bahwa mereka terlibat dalam aktivitas kampanye dengan partai politik/calon presiden, dimana motivasi terbesarnya adalah sosialisasi (41%) dan menyukai visi dan misi calon (32%). Sejalan dengan temuan ini, 45% responden ternyata telah terlibat memberikan masukan pada materi kampanye, dan di antara yang memberikan masukan tersebut, sebanyak 30% merasa masukannya diadopsi sebagai materi kampanye. Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari temuan tersebut. Pertama bahwa keterlibatan difabel telah membuktikan, dan berpotensi membuka kesadaran baru di tingkat politisi akan pengarusutamaan dan inklusi difabel. Kedua, angka temuan ini juga menunjukkan bahwa difabel sebenarnya sangat potensial untuk aktif dalam partai politik dan menjadi bagian dari pelaku politik praktis. Sayangnya, ini masih berbanding terbalik dengan fakta temuan lain bahwa hanya 9% responden yang dijangkau oleh partai politik dalam kegiatan sosialisasi maupun edukasi.[]

 

Reporter: Hendra D

Editor      : Ajiwan Arief