Search

+62-274-284 0056

Search
Close this search box.

Berita Sigab

Share halaman ini ke:

Efisiensi Anggaran Pemerintah: Ancaman bagi Hak Penyandang Disabilitas.

Kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia benar-benar menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi penyandang disabilitas. Komisi Nasional Disabilitas (KND), yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak difabel, kini harus menghadapi kenyataan pahit: anggarannya dipangkas. Padahal, hingga saat ini, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di negeri ini masih sangat terbatas dan jauh tertinggal dibandingkan negara lain.

Pemangkasan anggaran ini bukan sekadar masalah teknis keuangan, tetapi menyentuh aspek kemanusiaan. Ketua KND, Dante Rigmalia, menyampaikan keprihatinannya terhadap keputusan ini. Ia menegaskan bahwa berkurangnya anggaran dapat menghambat berbagai program penting, mulai dari advokasi kebijakan, penguatan kapasitas difabel, hingga pembangunan fasilitas yang lebih inklusif. “Kami memahami bahwa pemerintah ingin melakukan efisiensi, tetapi bagaimana dengan hak-hak kami? Bagaimana dengan nasib penyandang disabilitas yang masih berjuang mendapatkan akses yang layak?” ungkapnya.

Ironisnya, di saat anggaran untuk kelompok rentan dikurangi, infrastruktur dan layanan publik yang seharusnya ramah difabel masih jauh dari ideal. Penyandang disabilitas masih sulit mengakses transportasi umum, fasilitas pendidikan, serta peluang kerja yang setara. Menurut data, hanya sebagian kecil gedung pemerintah, sekolah, dan tempat umum yang memiliki akses bagi difabel. Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, atau bahkan negara tetangga seperti Malaysia, yang telah memiliki sistem transportasi publik inklusif dan peraturan ketat mengenai aksesibilitas difabel.

Di Indonesia, fasilitas seperti trotoar yang ramah disabilitas masih sangat terbatas. Banyak jalan umum yang tidak memiliki guiding block atau rambu yang memudahkan tunanetra dalam berjalan. Begitu pula dengan fasilitas umum seperti stasiun dan terminal yang belum sepenuhnya memiliki akses ramah kursi roda. Sebagian besar angkutan umum juga belum didesain untuk memfasilitasi penumpang disabilitas. Situasi ini membuat mereka semakin tersisih dan kesulitan menjalani kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, pemerintah berusaha membenarkan keputusan ini dengan alasan penyesuaian fiskal. Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pemangkasan dilakukan di berbagai sektor, bukan hanya pada KND, dan bahwa program-program prioritas akan tetap berjalan. Namun, pertanyaannya, apakah hak-hak penyandang disabilitas dianggap sebagai prioritas? Mengingat kondisi yang ada, sulit rasanya untuk percaya bahwa kebijakan ini akan membawa dampak positif bagi difabel.

Negara-negara lain telah membuktikan bahwa investasi dalam aksesibilitas difabel adalah investasi bagi seluruh masyarakat. Misalnya, di Jepang, setiap stasiun kereta dilengkapi dengan lift, jalur khusus, dan petugas yang siap membantu penyandang disabilitas. Di Eropa, berbagai kota telah menerapkan sistem transportasi publik yang dapat diakses oleh semua orang, termasuk kursi roda dan alat bantu lainnya. Jika Indonesia ingin menjadi negara yang benar-benar inklusif, pemotongan anggaran untuk sektor disabilitas bukanlah solusi yang tepat.

Keputusan ini seolah menunjukkan bahwa perjuangan penyandang disabilitas masih harus terus dilakukan, bahkan untuk sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hak dasar mereka. Pemangkasan anggaran ini berisiko membuat mereka semakin tersisih dalam masyarakat yang seharusnya inklusif. Bagaimana mungkin kita bisa berbicara tentang kesetaraan jika infrastruktur dan kebijakan yang mendukung pun terus dipangkas?

Harapan saya, pemerintah mau mendengar suara para penyandang disabilitas dan mempertimbangkan kembali keputusan ini. Efisiensi anggaran tidak seharusnya dilakukan dengan mengorbankan kelompok rentan. Sebab, hak untuk mendapatkan akses yang layak bukanlah sebuah pilihan, melainkan kewajiban negara. Saya berharap, ke depan, tidak ada lagi teman-teman difabel yang harus merasa seperti warga negara kelas dua hanya karena keputusan anggaran yang tidak berpihak kepada mereka. Kita semua berhak atas kehidupan yang setara, dan negara harus hadir untuk memastikan hal itu terjadi. Jika negara ingin maju dan setara dengan bangsa lain, aksesibilitas bagi difabel harus menjadi prioritas, bukan sekadar wacana.

 

Penulis : Phasha