Catatan refleksi Konsolidasi Program GOOD
Kontributor Program GOOD: Agung Prabowo
Rumusan Organisasi Difabel ‘ideal’ menjadi topik utama dalam diskusi Panel Ahli ketika Program Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel—GOOD melakukan konsolidasi awalnya yang dilaksanakan pada penghujung Februari 2023 di Yogyakarta. Topik ini mengemuka setelah Marisa, Direktur CBM Global Disability Inclusion mengajukan pertanyaan kritis ke para Panelis dan Manajemen SIGAB mengenai apakah pernah dirumuskan sebelumnya indikator seperti apa yang menjadi ukuran ketika sebuah Organisasi Difabel dikatakan berdaya? Pertanyaan inilah kemudian yang menjadi pengantar peserta lebih jauh mengkaji indikator keberdayaan.
Diskusi yang difasilitasi Wahyu siang itu berlangsung cukup dinamis ketika membahas bentuk-bentuk kapasitas yang akan dikembangkan program, kesenjangan kapasitas Organisasi Difabel yang berkaitan dengan disparitas wilayah (Jawa dengan luar Jawa), ragam difabilitas kurang mendapat perhatian atau yang jarang diketahui khalayak umum, kedifabelan yang tidak tampak secara kasat mata atau kerap disebut sebagai invisible disability, keterampilan teknis yang penting untuk mendukung eksistensi perjuangan kelompok difabel hingga pendekatan interseksionalitas yang masih luput dalam kajian difabilitas. Seluruh informasi yang muncul kemudian dicatat pada kertas plano oleh fasilitator yang juga sebagai Koordinator Program yang mengawal jalannya Program GOOD tiga tahun mendatang.
Dalam perencanaannya, paling tidak Program GOOD akan melakukan tiga kegiatan yang terkait kajian dan penilaian terhadap mitranya antara lain penilaian awal secara cepat, seleksi calon mitra (administrasi dan wawancara) dan assessment lebih lanjut untuk memetakan kebutuhan 16 Organisasi Difabel Mitra Program yang lolos pada proses seleksi. Untuk mempersiapkan itu semua, program mendesain pertemuan ini dimana tidak hanya sebagai media konsolidasi awal entitas yang ada di dalam program, tapi juga mulai merancang instrumen yang akan digunakan pada penilaian awal dan seleksi.
Oleh karena Program GOOD bertujuan mengembangkan kapasitas Organisasi Difabel, tentu dalam proses seleksinya ke depan tidak akan menyaring Organisasi Difabel yang sudah mapan secara kelembagaan. Penilaian juga tidak dimaksudkan untuk organisasi yang secara kapasitas sudah berdaya. Lalu indikator apa yang akan digunakan dalam proses seleksi? Lebih jauh lagi, apa yang menjadi indikator sebuah Organisasi Difabel itu dianggap berdaya, terutama setelah melalui serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas maupun memperoleh fasilitasi dari program? Pertanyaan kedua ini erat kaitannya dengan pilihan bentuk dan strategi fasilitasi yang akan program gunakan ke depan.
Setelah mendengar satu persatu tanggapan peserta terkait pertanyaan di atas, forum kemudian menyepakati beberapa komponen dari penilaian kapasitas organisasi calon Mitra Program nantinya akan dilakukan secara terbalik. Namun seperti itu, tidak semua komponen dari kapasitas Organisasi Difabel akan dinilai secara terbalik, utamanya hal yang berkaitan dengan keselarasan visi organisasi dengan tujuan program dan kepemimpinan difabel dalam pengambilan keputusan organisasi yang berperspektif difabilitas.
Ada kurang lebih 15 orang peserta menghadiri pertemuan yang terdiri dari Tim Program, CBM, Panel Ahli dan Manajemen SIGAB. Adapun kelima Panel Ahli yang ditunjuk program yakni Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat—PJS Indonesia, Antoni Tsaputra dari PPDI Padang sekaligus pengajar di Universitas Negeri Padang, Cucu Saidah inisiator Komunitas JBFT yang juga bekerja sebagai Konsultan CBM, Ranie Hapsari dari Pusat Rehabilitasi YAKKUM dan Joni Yulianto, Dewan Pengurus SIGAB Indonesia sekaligus Presidium FORMASI Disabilitas. Para Panelis tersebut berasal dari beragam latar belakang pengalaman serta keahlian, baik di organisasi maupun gerakan difabel. Turut pula Suharto selaku Direktur SIGAB Indonesia dan Marisa Kristianah mewakili CBM Global Disability Inclusion, menghadiri pertemuan dan terlibat secara aktif di dalam sesi diskusi.
Kapasitas Yang Akan Dikembangkan GOOD
Secara umum, pengembangan kapasitas terhadap 16 Organisasi Difabel yang menjadi fokus Program GOOD meliputi tiga hal yakni pembelajaran materi dalam bentuk pelatihan dan asistensi; mainstreaming isu, advokasi dan pemantauan hak-hak difabel di wilayah; dan media pembelajaran reflektif, dokumentasi praktik baik serta diseminasi.
Mengacu pada Webinar (27/02/2023) sebagian besar Organisasi Difabel mengeluhkan kesulitan mereka di dalam mengakses sumber-sumber pendanaan, melengkapi dokumen yang mensyaratkan organisasi berbadan hukum, menyusun dokumen perencanaan, menjalin jejaring kerja dan mengelola akuntabilitas keuangan, dimana organisasi yang baru ‘bertumbuh’ kerap mengalami sederet permasalahan tersebut. Program tentunya membutuhkan waktu yang cukup panjang agar bisa menyelesaikan satu persatu permasalahan umum yang sedang dialami Organisasi Difabel.
Sebelum lebih jauh masuk dalam pembahasan model penilaian calon mitra, Wahyu meminta kepada Joni untuk menyederhanakan tujuan Program GOOD. Sederhananya, program ini dimaksudkan untuk menguatkan kapasitas, suara dan jejaring Organisasi Difabel yang ada di wilayah agar dapat berjalan beriringan dengan advokasi gerakan pemenuhan hak-hak difabel yang sedang diupayakan di tingkat nasional maupun global. Program GOOD ini nantinya akan coba mengembangkan beberapa bentuk kapasitas agar mampu mendorong lahirnya inisiatif maupun regulasi yang menjadi payung hukum pelaksanaan pemenuhan hak-hak difabel di tingkat daerah. Dengan kata lain, program tidak sedang mencari Organisasi Difabel yang dalam kondisi ideal secara kapasitas. Justeru sebaliknya, program ingin menjaring mitra yang belum kuat secara kapasitas agar bisa bersama-sama tumbuh menjadi kekuatan besar gerakan advokasi yang saling terkoneksi satu sama lain.
Dengan demikian, paling tidak ada beberapa bentuk kapasitas yang akan program upayakan ke depannya yakni kapasitas Keorganisasian yang meliputi legalitas lembaga, manajemen organisasi, manajemen keuangan dan akuntabilitas, Renstra dan laporan; kapasitas advokasi berperspektif Gender, Disability and Social Inclusion—GEDSI dan pemenuhan hak-hak difabel; kapasitas pemantauan Hak-Hak Difabel (UNCRPD principle: Pemahaman dasar, penyederhanaan indikator dan tools pemantauan) dan kapasitas lainnya yang dianggap perlu sesuai kebutuhan.
Komponen Yang Harus Ada di Organisasi Difabel Calon Mitra
Walaupun kapasitas Organisasi Difabel calon mitra tidak menjadi pertimbangan utama seleksi di Program GOOD, namun ada beberapa hal yang menjadi catatan Panel Ahli berikan ketika akan melakukan seleksi.
Program GOOD memiliki tujuan umum yakni Pemberdayaan OPDis di Indonesia dalam mendorong pemerintah daerah dan nasional untuk mengimplementasikan pemenuhan hak-hak disabilitas. Secara khusus, program bertujuan untuk memperkuat kapasitas, suara, jaringan, dan keberlanjutan OPDis, baik organisasi, pemimpin dan jejaringnya, sebagai pembela hak-hak difabel untuk melakukan advokasi serta memantau implementasi UN-CRPD dan UU No. 8 Tahun 2016 di Indonesia. Paling tidak ada 4 hal yang disepakati Panel dalam forum konsolidasi, antara lain:
Keselarasan visi: Organisasi Difabel wajib untuk memiliki visi dan tujuan organisasi yang selaras dengan agenda Program GOOD. Visi disini meliputi gambaran arah kerja ideal yang ingin dicapai sebuah organisasi dan dijabarkan kembali dalam misi yang menjadi target terukur. Keselarasan yang dimaksud meliputi cita-cita mewujudkan masyarakat inklusif, keberpihakan terhadap kelompok difabel dan kesetaraan gender di masyarakat serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kesetaraan, kemandirian dan anti diskriminasi.
Motivasi: Motivasi ini berkaitan dengan keinginan dan ketertarikan Organisasi Difabel untuk bersama program mengembangkan diri, bersikap terbuka terhadap perubahan, menunjukkan semangat dalam mempelajari hal baru. besar yang berusaha ditunjukkan menjadi bagian penting dalam melakukan penilaian terhadap Organisasi Difabel calon mitra. Motivasi ini meliputi keinginan individu maupun kolektif organisasi untuk mengembangkan kapasitas mereka bersama program.
Keinginan mempelajari hal-hal baru: Motivasi belajar juga menjadi perhatian Panel Ahli dalam diskusi mereka. Hal ini dapat dilihat dari model pembelajaran seperti apa yang organisasi gunakan dan kembangkan untuk individu-individu di dalamnya. Motivasi ini berkaitan dengan semangat dan keinginan besar dari Organisasi Difabel untuk mempelajari banyak hal yang dapat ditunjukkan. Hal ini tentunya berkaitan dengan kapasitas kognitif bagai sumber daya manusia di Organisasi Difabel dalam penguasaan isu difabel yang terus berkembang, bahkan lebih jauh ada begitu banyak interseksionalitas isu difabel dengan isu-isu yang lain seperti isu perempuan, anak, perubahan iklim, lingkungan, hukum, pendidikan dan sebagainya.
Komitmen: Pada komitmen, Organisasi Difabel mengajukan argumen dan komitmennya terhadap program dan bersedia meluangkan waktu dan sumberdaya untuk menyelesaikan apa yang telah disepakati bersama program. Bentuk komitmen ini tidak hanya ditunjukkan dalam pernyataan, tapi juga secara tertulis dalam bentuk perjanjian dan sikap yang menunjukkan keseriusan. ini berkaitan dengan keseriusan menerima dan bertindak bersama yang diupayakan sejak awal hingga akhir. Dalam konteks ini, Organisasi Difabel menetapkan dan menunjukkan komitmen yang kuat akan melakukan pengembangan kapasitas bersama program hingga akhir periode yang telah disepakati. Tentunya komitmen ini harus diikuti dengan tanggung jawab dan sikap menerima konsekuensi ketika keluar dari komitmen yang telah disepakati.
Tidak bersikap apatisme terhadap kerja-kerja di ranah politik: Oleh karena program akan mengerjakan upaya-upaya advokasi kebijakan di daerah, maka langkah dan strategi yang diambil erat kaitannya dengan proses politik yang bukan politik elektoral seperti proses lobi, audiensi, negosiasi, menekan dan rekonsiliasi konflik. Maka sikap apolitis tidak dapat digunakan sama sekali untuk mendukung capaian program yang sedang mendorong upaya-upaya advokasi kebijakan daerah sebagai payung hukum pemenuhan hak-hak difabel di daerah. Hal ini penting mengingat perkembangan dewasa ini, tidak jarang ada aktor-aktor dalam organisasi yang cukup ‘alergi’ dengan tindakan politik sehari-hari. Sementara itu, upaya-upaya advokasi terhadap hak-hak kelompok marjinal tidak jarang menempuh jalur politik seperti aksi protes, lobi, audiensi, mendorong pengesahan kebijakan hingga menyatakan sikap politik di ranah publik. Sehingga penting untuk memastikan Organisasi Difabel yang akan mengikuti program mau menempuh jalur-jalur yang dimaksud.
Mau mengupayakan advokasi di wilayah: Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, advokasi kebijakan merupakan satu di antara banyak kapasitas yang program ingin kembangkan di Organisasi Difabel. seperti yang telah disinggung di atas, pengembangan kapasitas Organisasi Difabel yang diupayakan program bermaksud untuk mendukung implementasi pemenuhan hak-hak difabel di wilayah serta kebijakan yang menjadi payung hukumnya. Namun seperti itu, hal yang menjadi catatan dalam penilaian adalah program tidak sedang mencari Organisasi Difabel yang terampil dan sangat berpengalaman dalam advokasi, tapi program bermaksud untuk menjadi support sistem bagi Organisasi Difabel yang sedang mengupayakan advokasi di wilayahnya masing-masing.
Afirmasi Bagi Organisasi Difabel Calon Mitra Program
Selain catatan di atas, Yeni dan Antoni juga menilai perlu adanya skema afirmasi di dalam proses seleksi Organisasi Difabel Mitra Program. Diskusi terkait afirmasi yang akan diberikan oleh Program GOOD di proses seleksi mitra ini pada akhirnya mengerucut pada beberapa kesimpulan. Paling tidak ada 3 jenis afirmasi yang akan diberikan, di antaranya adalah sebagai berikut:
- Afirmasi diberikan kepada Organisasi Difabel yang berada di luar Pulau Jawa, khususnya di wilayah yang terpencil, terluar dan kurang mendapatkan akses terhadap pengembangan kapasitas.
- Afirmasi diberikan terhadap Organsasi Difabel yang fokus pada kedifabelan ganda maupun difabilitas yang kurang mendapat perhatian.
- Afirmasi bagi Organisasi Difabel yang fokus pada kedifabelan yang tidak tampak (invisible difable) karena kerap mendapatkan stigma maupun diskriminasi berlapis di masyarakat.
Dua bentuk afirmasi terakhir dipilih mengingat program yang bermaksud mengakomodasi keberagaman jenis difabel agar dalam proses pendampingan ke depannya akan ada pembelajaran-pembelajaran bersama yang dapat menjadi praktik baik untuk disebarluaskan.
Selain komponen yang harus dimiliki oleh organisasi calon mitra dan bentuk-bentuk afirmasi, Panel Ahli juga menyepakati adanya pertimbangan lain yakni hal-hal atau situasi yang perlu menjadi catatan ketika akan memilih mitra. Dari catatan Cucu dan Yeni, paling tidak ada pertimbangan seperti kepemimpinan oleh difabel di Organisasi Difabel untuk menjaga perspektif di kebijakan internal organisasi, budaya Organisasi Difabel untuk menunjukkan perilaku, pengambilan keputusan, kaderisasi dan internalisasi nilai di anggota; potensi konflik kepentingan yang di banyak kasus berujung pada kehancuran organisasi serta manajemen konflik sebagai mekanisme organisasi mengelola konflik yang ada di dalam organisasi.
Lebih lanjut keduanya menggarisbawahi manajemen konflik dan politik kepentingan sebagai catatan agar bisa mendapatkan pertimbangan di dalam penilaian selama proses seleksi dilakukan. Sebuah organisasi dengan keberagaman pemikiran dan latar belakang yang berbeda-beda tentu berpotensi menjadi ruang bagi lahirnya konflik dan pertentangan. Oleh karena konflik merupakan sebuah keniscayaan di dalam organisasi, maka konflik itu harus dapat dikelola dengan baik dan diarahkan pada satu mekanisme internal organisasi agar mendapatkan hasil yang positif dalam pengembangan organisasi, bukan sebaliknya. Selain itu, organisasi juga harus tetap menjaga nilai perjuangan yang menjadi visi organisasi yang tetap berpihak pada kepentingan orang banyak, khususnya kelompok rentan difabel. Maka, nilai perjuangan ini harus dijaga dari kepentingan-kepentingan politik golongan maupun kelompok politik tertentu yang berjangka pendek yang dapat memecah belah organisasi. Maka perlu bagi Organisasi Difabel untuk memiliki mekanisme dalam menyelesaikan permasalahan di politik kepentingan agar dampaknya tidak meluas dan merusak visi kolektif yang lebih panjang.
Wahyu juga mengajukan pertimbangan komposisi di sumberdaya manusia aktif di Organisasi Difabel yang mewakili kelompok pemuda (di bawah 30 tahun), komposisi gender dan pemerataan kesempatan terhadap akses di sumber-sumber pengetahuan, termasuk kesempatan untuk bisa mengikuti pelatihan yang akan dipersiapkan oleh Program GOOD kedepannya.
Catatan Kebutuhan Kapasitas Teknis
Antoni dan Joni dalam diskusi juga menambahkan beberapa catatan penting terkait kebutuhan keterampilan teknis yang dianggap dapat mendukung kerja-kerja advokasi yang sedang maupun yang akan didorong oleh Organisasi-Organisasi Difabel di berbagai wilayah. Paling tidak ada empat bentuk keterampilan yang diajukan dan saling berkaitan satu sama lain yakni kemampuan penelitian, pengorganisasian, berjejaring dan kemampuan analisa. Ketiga keterampilan teknis ini akan menjadi bagian penilaian dalam proses seleksi ketika sudah ada di organisasi calon mitra dan akan menjadi catatan dalam upaya pengembangan kapasitas Organisasi Difabel yang diupayakan program.
Bagi Antoni dan Joni, untuk mendukung kerja-kerja advokasi yang diupayakan oleh Organisasi Difabel di wilayah perlu adanya tambahan keterampilan penelitian. Lebih lanjut Joni meyakini kemampuan penelitian yang dimaksud tidak seperti yang dibayangkan dengan segala kerumitan metodologi dan standar akademik, tapi lebih pada kemampuan membangun penelitian melalui serangkaian pertanyaan kritis, menjawabnya secara komprehensif serta mengemasnya secara sederhana. Tentunya penelitian yang dilakukan secara penuh dirancang dan dilakukan oleh difabel untuk menjaga perspektif yang menjadi semangat penelitian yang inklusif. Organisasi Difabel juga harapanya dapat menjadi agen perubahan sosial dengan memiliki keterampilan dalam pengorganisasian masyarakat. Pengorganisasian ini tentunya untuk mendukung tujuan-tujuan jangka panjang organisasi dengan memperluas gerakan sosial yang sedang dibangun dan melibatkan kelompok difabel secara langsung. Kerja-kerja advokasi akan mendapatkan hasil yang maksimal ketika itu dilakukan secara kolaboratif bersama jejaring yang sudah ada, seperti dengan lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga bantuan hukum, sesama Organisasi Difabel, jejaring organisasi kampus, organisasi masyarakat sipil, organisasi keagamaan, pemuda, individu berpengaruh dan sebagainya. Masih banyaknya lingkup gerakan difabilitas yang belum mendapat perhatian kemudian mendorong hadirnya kebutuhan bagi para aktivis difabel untuk memiliki keterampilan dalam menganalisa untuk mengembangkan maupun menemukan titik temu isu lintas sektoral. Interseksionalitas sebagai sebuah pendekatan misalnya, masih seidkit mendapatkan ruang untuk digunakan sebagai alat analisis dalam melihat diskriminasi berbasis identitas. Padahal identitas seseorang tidak ditentukan oleh satu aspek saja, seperti disabilitas, namun juga oleh faktor-faktor lain seperti gender, ras, status sosial ekonomi, dan lain-lain. Pendekatan interseksionalitas ini mengakui bahwa seseorang dapat menghadapi beragam hambatan yang dipengaruhi oleh ragam faktor yang menjadi identitasnya. Walaupun belum begitu familiar secara umum, pendekatan ini mampu membedah lebih jauh risiko diskriminasi berlapis yang mungkin terjadi pada individu dengan identitas ganda. Isu difabilitas juga perlu untuk dianalisis lebih luas dalam kaitannya dengan isu-isu penting lain seperti isu perubahan iklim, kebencanaan, demokrasi, gender, perlindungan anak dan sebagainya.
Merumuskan Peran dan Indikator
Seperti yang telah disinggung di awal, pertanyaan reflektif tentang rumusan organisasi difabel ideal penting untuk dijawab dalam pertemuan konsolidasi Program GOOD. Selain sebagai alat untuk melakukan seleksi terhadap calon organisasi mitra program, rumusan ideal itu sekaligus dapat digunakan sebagai indikator perkembangan maupun keberhasilan program di dalam melakukan pengembangan kapasitas di organisasi-organisasi difabel mitranya. Paling tidak ada 7 rumusan yang dihasilkan dari proses diskusi panjang peserta yakni:
- Legalitas hukum organisasi yang merujuk jenis, bentuk dan status hukum yang berlaku.
- Budaya organisasi yang meliputi ideologisasi nilai-nilai keorganisasian, motivasi dan perspektif gerakan, kode etik organisasi, manajemen konflik dan mengelola konflik kepentingan.
- Aturan kelembagaan yang meliputi manajemen organisasi, keuangan dan program yang tercermin pada AD/ART, visi dan misi, prosedur standar kerja, kebijakan organisasi
- Kemampuan untuk mengakses, mengontrol dan mengkonsolidasikan sumberdaya manusia maupun sumber-sumber pendanaan yang berkaitan dengan kemampuan kaderisasi untuk regenerasi dan jejaring.
- Merumuskan perencanaan strategis secara periodik dan berkesinambungan.
- Transparansi dan akuntabilitas publik melalui audit eksternal dan laporan publik.
- Kapasitas teknis yang meliputi advokasi, produksi pengetahuan (riset, publikasi dan diseminasi), pengorganisasian, media publikasi dan kampanye gerakan.
Di hari terakhir pertemuan, forum kemudian bersepakat untuk merumuskan peran dan fingsu masing-masing Panel program untuk rencana 3 tahun mendatang. Sebelum berbagi peran, forum membuat daftar peran-peran yang akan dimandatkan pada para Panel. Paling tidak ada beberapa peran yang berhasil diidentifikasi antara lain terlibat langsung dalam melakukan seleksi calon mitra program, penyusunan kurikulum dan modul pembelajaran, fasilitasi pelatihan dan asistensi terhadap Tim Program. Selain ketiga peran tersebut, para Panel akan menjadi tempat berkonsultasi bagi Tim yang disesuaikan dengan keahlian masing-masing serta menjaga kualitas program secara subtansi.
Selain Panel, Manajemen SIGAB dan CBM pun turut mendapatkan peran di dalam program secara umum. SIGAB sebagai penanggung jawab pelaksanaan program berperan untuk memastikan program ini dapat berjalan seperti yang diharapkan. Manajemen juga akan mengambil peran sebagai ‘jembatan’ Tim Program dengan pihak CBM ketika mengalami kendala maupun permasalahan selama proses implementasi program berlangsung.
Peran CBM sebagai pendukung sumberdaya program, juga akan mengisi peran di dalam melakukan seleksi dan penilaian terhadap calon mitra program bersama Manajemen SIGAB dan Panel Ahli. CBM juga ke depannya akan mendukung pengembangan kapasitas di SIGAB sebagai pelaksana program, sebagaimana yang telah direncanakan di dalam proposal perencanaan program. Pengembangan kapasitas ini meliputi kapasitas SIGAB secara organisasi maupun kapasitas individu pelaksana program.[]